Kamis, 04 Februari 2010

Harimau Mati Meninggalkan Belang, Gajah Mati Meninggalkan Gading, Hakim Agung Tidak Ada Matinya

[5/10/08]

Judul di atas boleh jadi sangat sinis bahkan sarkas. Ini merujuk pada betapa pongahnya sekelompok hakim agung kita yang mendesakkan dirinya tetap bercokol di Mahkamah Agung dengan memaksakan usia pensiun mereka menjadi 70 tahun dalam RUU Mahkamah Agung (RUUMA).


Lain halnya jika usulan itu berlaku untuk generasi hakim berikutnya setelah MA direformasi habis. Ini berlaku untuk diri mereka sendiri, kepanjangan dari sikap memperpanjang masa jabatan dua tahun lalu. Kalau Julius Caesar mengenakan sendiri mahkota kaisar di kepalanya, dan Napoleon Bonaparte mengangkat dirinya sendiri menjadi kaisar, maka para hakim agung yang memperpanjang masa jabatannya sendiri mengangkat dirinya menjadi pemutus keadilan terakhir di dunia. Sayang, mereka hanya sekelompok hakim yang merepresentasikan persepsi pengadilan Indonesia yang terkenal sangat korup di indeks persepsi yang diakui dunia, bukan Julius Caesar dan bukan pula Napoleon Bonaparte.



Ada sejumlah alasan kenapa perpanjangan usia pensiun hakim agung yang diakibatkan berlakunya UU Mahkamah Agung sangat tidak pantas dilakukan.



Pertama, Mahkamah Agung sekarang ini harus dianggap gagal mereformasi dunia peradilan dengan reformasi setengah hatinya. Benar ada perbaikan di sana sini, tetapi tetap saja tidak ada leadership yang tegas dan efektif dalam melakukan reformasi. Benar bahwa keberhasilan reformasi harus menunggu paling tidak satu generasi hakim lagi, tetapi kalau fondasi yang kokoh dan kepemimpinan yang kuat tidak hadir saat ini juga, reformasi peradilan hanya akan jadi retorika untuk banyak dasawarsa ke depan. Reformasi peradilan sekarang ini hanya bisa terjadi karena ada dorongan dari luar, bantuan donor, dan kerja keras multi-stakeholders termasuk LSM pro-reformasi. Tidak ada “champion” di dalam MA, tidak ada dorongan moral kuat untuk berubah dari dalam. Tidak ada orang dalam yang bisa berfikir sebagai negarawan di dalam memimpin berjalannya reformasi.



Jadi kata “gagal” bukanlah cuma hukuman buat MA, tetapi itu hanya sesederhana kenyataan yang sungguh memalukan. Sebenarnya cukup sederhana untuk menentukan apakah MA sekarang ini sudah cukup berhasil dalam program reformasinya. Sedikitnya setelah 10 tahun melakukan reformasi, sudah harus terbangun:, walaupun belum sempurna: (i) sistim rekrutmen yang profesional, (ii) sistim penggajian yang memadai, (iii) sistim tranparansi dalam penentuan majelis hakim yang bebas dari benturan kepentingan, (iv) sistim monitoring perkara, (v) sistim dan manajemen keuangan yang transparan, (vi) pendidikan hukum lanjutan bagi hakim tingkat manapun, (vii) manajemen bobot kerja bagi seluruh sistim peradilan, (viii) transparansi keputusan hakim, (ix) sistim manajemen database dan manajemen pengetahuan, dan (xi) sistim pengawasan internal yang ketat. Tanpa itu semua, hanya kata “kegagalan” yang tepat untuk MA.



Kedua, begitu banyak dugaan bahwa selalu ada dagang perkara di peradilan kita, tidak terkecuali MA. Dugaan begitu marak karena sebentar lagi akan ada banyak perkara yang menyangkut sengketa pemilu yang melibatkan banyak parpol dan tokoh politik, termasuk anggota parlemen. Barter antara persetujuan RUU MA dan menjadikannya piutang politik yang bisa ditagih manakala perkara nanti muncul adalah dugaan yang secara politis parlemen yang kini sedang diselidiki, disidik, dan bahkan dituntut. Dan jangan lupa, perkara eks BLBI dan hutang pajak yang melibatkan para konglomerat dan pengusaha besar bisa jadi suatu jalan masuk untuk menyelesaikanya lewat prinsip “you scratch my back, I will scratch your back too”. Belum lagi perkara-perkara besar lain yang sedang dalam daftar antrian di MA.

Ketiga, yang sangat tidak masuk akal adalah pernyataan dari dalam MA yang mengatakan bahwa semakin tua seorang hakim agung semakin bijaksana juga pemikirannya. Hanya satu yang bisa membuktikan hal ini, yaitu bagaimana MA memutus perkara. Semakin banyak putusan MA yang bersandar pada jiwa dan kaidah konstitusi, semakin banyak putusan yang pro kepentingan umum, semakin banyak putusan MA yang melahirkan kebijakan hukum baru yang inovatif, menjebol simpul-simpul anti perubahan, dan semakin banyak putusan MA yang menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan, dan semakin banyak putusan MA yang mempraktekkan zero korupsi, adalah indikasi-indikasi kuat bahwa memang hakim-hakim agung kita makin bijaksana. Sayang, itu tidak terjadi, sehingga adalah mimpi di siang bolong untuk mengharapkan banyak hanya dengan menghitung jumlah umur yang semakin uzur.



Dari banyak fakta, usia harapan hidup di Indonesia rata-rata tidak lebih dari 65 tahun. Pada umur di atas itu, mereka sangat rentan akan problem dimensia, darah tinggi, gula darah tidak normal, gangguan stroke dan jantung dan sebagainya yang juga mungkin sudah melanda hakim-hakim agung yang berusia diatas 65 tahun. Kalau memang mau konsisten, coba saja dilihat riwayat kesehatan mereka atau dilakukan tes kesehatan apakah mereka memang secara fisik dan psikologis mampu menjalankan tugasnya yang maha berat tersebut. Hakim agung dituntut untuk membca semua berkas perkara, tidak tergantung pada asisten atau hakim tanpa palu. Hakim agung harus membuat sendiri pertimbangan-pertimbangan hukum untuk menegakan “justice of the last resort”.



Hakim agung harus meneliti dan memperhatikan dengan jeli perkembangan dan perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah masyarakat. Hakim agung juga harus bisa membuat “hukum baru” yang tidak pernah diatur dalam hukum positif atau yurisprudensi, yang akan menjadi “landmark decision” dan panduan bagi hakim bawahan untuk membuat keputusan atas perkara sejenis untuk jangka waktu yang lama. Hakim agung juga harus mampu membuat keputusannya sendiri ditengah tumpukan perkara berjumlah puluhan ribu. Mampukah mereka di usia uzur itu? Sangat diragukan.



Bukan berarti bahwa hakim-hakim agung yang sudah masuk usia pensiun akan otomatis digantikan oleh hakim-hakim lebih muda atau baru yang lebih mampu, bijak dan efektif menjalankan reformasi peradilan. Mereka pun sama tidak jelasnya, apalagi sebagian besar memang mereka yang terpilih karena melamar kerja atau hakim karir yang menjadi bagian dari sistim yang sudah lama terkorupsi. Selama sistim rekrutmen dilakukan dengan cara seperti sekarang, maka tidak akan ada hakim agung bermutu tinggi yang akan tampil. Cara rekrutmen hakim agung dengan cara seperti sekarang bukan hanya tidak profesional, tetapi juga tidak efektif dan buang-buang waktu. Keagungan seorang hakim agung diperoleh dari jejak rekamnya selama puluhan tahun. Baik dari keputusannya, integritasnya, dan kemampuannya untuk membrikan solusi hukum yang berkeadilan dalam masyarakat yang tidak pernah berhenti berubah.



UUMA telah terlanjur berlaku. Kita semua gagal menolak dengan tegas usulan perpanjangan usia hakim agung. Kalau diatas harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, maka hakim agung mati seharusnya meninggalkan “legacy” berupa institusi MA (termasuk putusan-putusannya) yang menjadi tonggak-tonggak bangunan bangsa yang besar ini. Kegagalan kita ini berharga sangat mahal.

Tidak ada komentar: