Rabu, 27 Februari 2008

Dua Materi Krusial RUU Pemilu Disepakati Divoting

JAKARTA--MI: Setelah melewati proses lobi yang melelahkan, akhirnya disepakati dua dari tujuh materi krusial RUU Pemilu diputuskan melalui voting di rapat paripurna DPR yang akan berlangsung, Kamis (28/2).

Kedua materi yang akan diputus melalui voting itu pertama, soal sisa suara. Materi ini tidak bisa disepakati dalam forum lobi karena masih ada dua opsi, yakni apakah sisa suara ditarik ke provinsi atau dibagi habis di daerah pemilihan (dapil).

Kedua, soal penentuan calon terpilih. Memang sudah disepakati bahwa calon terpilih ditentukan oleh perolehan 30% suara dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Namun, bagi calon yang perolehan suaranya tidak mencapai 30% BPP, belum disepakati apakah ditentukan berdasarkan nomor urut atau suara terbanyak.

Menurut rencana, paripurna pengesahan RUU Pemilu akan berlangsung mulai pukul 14.00 WIB. (Hil/Far/OL-06)

Penulis: Hillarius U Gani

Eduardo Tinggalkan Rumah Sakit

LONDON--MI: Pemain depan Arsenal, Eduardo da Silva, Rabu (27/2) meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat akibat patah kaki yang dialami. Demikian dinyatakan Arsenal.

"Eduardo telah meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat setelah mengalami patah kaki saat melawan Birmingham City. Ia mengucapkan terima kasih kepada mereka yang memberikan dukungan kepadanya," jelas Arsenal dalam pernyataannya.

Pemain Kroasia kelahiran Brasil berusia 25 tahun ini, mengalami patah kaki kiri setelah dijegal bek Birmingham Martin Taylor dalam pertandingan di Stadion St Andrews.

Cedera ini dipastikan membuat Eduardo absen hingga akhir musim kompetisi tahun ini. Bahkan, ia juga tidak bisa tampil membela Krosia di putaran final Euro 2008.

Arsenal sebelumnya menyatakan Eduardo butuh waktu sembilan bulan untuk sembuh. Taylor sendiri setelah kejadian tersebut mendapat ancaman pembunuhan dari pendukung Kroasia yang marah terhadapnya. (AFP/OL-06)

Penulis: Widhoroso

Nistelrooy Absen Bela Real Madrid

MADRID--MI: Ruud van Nistelrooy dipastikan absen saat Real Madrid menghadapi Recreativo Huelva dalam lanjutan Liga Spanyol, Sabtu (1/3) mendatang. Penyerang asal Belanda itu absen karena mengalami cedera pergelangan kaki.

Pemain berusia 31 tahun yang telah mencetak 12 gol ini, mulai 'mandul' sejak 20 Januari lalu. Namun, Bernd Schuster kemungkinan akan menurunkan dua pemain Brasil Pepe dan Robinho dalam pertandingan tersebut.

Robinho sendiri mulai menjalani latihan setelah beberapa waktu lalu mengalami masalah dengan perutnya. Sementara Pepe yang absen sejak 20 Januari lalu juga telah sembuh dari cedera kaki kanan.

Bagi Real, kemenangan atas Huelva menjadi sebuah keharusan. Pasalnya, walau masih menduduki peringkat pertama klasemen sementara, Raul dan kawan-kawan saat ini hanya unggul dua angka atas Barcelona yang berada di posisi kedua.

Apalagi dalam pertandingan terakhirnya pekan lalu, Real tunduk ditangan Getafe. (AFP/OL-06)

Penulis: Widhoroso

Pengesahan Ditunda Agar RUU Pemilu Lebih Matang

JAKARTA--MI: Ketua DPR, Agung Laksono, Rabu (27/2), menegaskan, penundaan pengesahan Rancangan Undang Undang Pemilihan

Umum merupakan tindakan positif guna menghasilkan produk hukum atau undang undang yang lebih matang.

"Saya kira begitu. Supaya ketika telah menjadi sebuah produk hukum, atau menjadi undang-undang (UU), sudah matang," katanya kepada pers, terkait penundaan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang semula dijadwalkan pada Rapat Paripurna tanggal 26 Februari

diundur ke hari Kamis (28 Februari 2008).

"Kami menunda itu untuk lebih mematangkan

hal-hal yang bisa diselesaikan secara musyawarah," kata Agung Laksono seusai

menerima kunjungan kehormatan Parlemen Jerman yang dipimpin Hans-Ulrich Klose (Ketua Komisi Luar Negeri Parlemen Jerman) dan Duta Besar Iran Behrooz Camanvandi di ruang tamu Ketua DPR RI, Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta.

Ia menambahkan, meskipun berjalan agak lamban, namun pembahasan yang dilakukan mengalami kemajuan. "Ini merupakan hasil dari demokrasi kita. Suara yang besar maupun kecil harus didengar," tegasnya.

Agung juga menegaskan, dalam penundaan pengesahan RUU Pemilu ini, bukan karena ada tarik menarik kepentingan antara DPR dengan

pemerintah. "Pemerintah tidak ingin dilibatkan dalam voting," tandasnya lagi.

Karena itu, lanjutnya, bila seluruh fraksi telah sepakat pada satu isu, pemerintah akan menyetujui. Menjawab pertanyaan soal status hukum calon anggota legislatif, Agung

menjelaskan, mereka yang sudah tidak dalam pidana, hak-haknya harus 'diputihkan'.

"Dalam UU ini nantinya bila seseorang telah dihukum di atas lima tahun, meskipun sudah bebas, tidak dapat menjadi anggota DPR lagi. Sepertinya hak politiknya tidak sempurna lagi, meskipun sudah mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan sudah bertobat. Tapi UU kita tidak memberi peluang lagi. Ini kami anggap tidak selaras lagi dengan hak asasi manusia," katanya.

Agung menegaskan, bila seseorang memang sedang terlibat kasus pidana, tidak dapat menjadi Anggota DPR RI. "Namun bila telah habis masa hukuman, dan berkelakuan baik, dapat menjadi pertimbangan. Sama haknya dengan warga negara yang lain," tandasnya. (Ant/OL-06)

47 Parpol Lengkapi Persyaratan Verifikasi

JAKARTA--MI: Dari 115 partai politik, hingga akhir masa pendaftaran, Kamis (28/2) pukul 00.00 WIB, hanya 47 yang telah melengkapi dokumen yang disyaratkan untuk proses verifikasi administrasi yang akan dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM.

Demikian dikatakan Direktur Tata Negara Depkum dan HAM Aidir Amin Daud.

Sementara itu, Menkum HAM Andi Mattalatta menilai waktu yang diberikan kepada parpol untuk melengkapi dokumen yang dibutuhkan sudah mencukupi. Parpol, lanjutnya, seharusnya sudah mempersiapkan diri sebelum UU Parpol tersebut disahkan.

"Parpol itu untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, kalau mengurus diri sendiri saja susah apalagi mengurusi rakyat," ujarnya seusai melakukan inspeksi ke Depkum HAM, Rabu malam.

ke-47 parpol yang telah melengkapi persyaratan verifikasi adalahadalah Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Buruh, PNI Massa Marhaen, Partai Garuda, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Parade Nusantara, PNI Bersatu, Partai Republikku.

Selain itu masih ada Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1973, Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Keadilan Persatuan (PKP), Partai Matahari Bangsa, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Karya Pembangunan Bangsa (PKPB) dan Partai Kongres

Kemudian, PNI Pancasila, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Patai Demokrasi Kebangsaan, Partai Barisan Kebangsaan Indonesia (Bariski), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Peduli Daerah (PPD), Partai Pembaruan Bangsa (PPB), Partai Bela Negara, Partai Bintang Bulan, Partai Patriot dan Partai Kebangsaan.

Sementara tiga jam menjelang penutupan pada pukul 00.00, partai yang melengkapi mencapai 19 partai yaitu Partai Persatuan Bintang Reformasi, Partai Solidaritas Nasional, Partai Pelopor Indonesia, Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Solidaritas Buruh, Partai Persatuan Nasional, Partai Kristen Demokrat, Partai Barisan Nasional, Partai Persatuan Sarikat Indonesia, Partai Kemakmuran Rakyat.

Selain itu Partai NKRI, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Islam Indonesia Masyumi, Partai Perserikatan Rakyat, Partai Republika Nusantara, Partai Kerakyatan Nasional, Partai Nurani Umat dan Partai Beringin Muda. (Xat/OL-06)

Penulis: Deni Satria

Senin, 25 Februari 2008

Peluangnya Fifty-fifty untuk Dinafikan "Putusan UU Sisdiknas"

[25/2/08]

Eksaminasi publik terhadap putusan MK yang memasukan gaji pendidik ke dalam anggaran pendidikan akan digelar. Hasilnya dipakai sebagai bahan acuan pemerintah dan DPR untuk menafikan putusan MK tersebut. Namun, peluangnya fifty-fifty

Kritikan dan cercaan publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pasal 49 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terus meluas. Setelah dikritik oleh tiga hakim konstitusi dalam dissenting opinionnya. Kali ini Koalisi Pendidikan akan melakukan eksaminasi publik terhadap putusan yang disebut Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar sebagai 'penyiasatan' konstitusional yang menyesatkan. Koalisi pendidikan terdiri dari aktivis guru, dosen, orang tua siswa serta peneliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Febridiansyah, salah satu anggota Koalisi Pendidikan, mengatakan, eksaminasi publik tersebut akan dilakukan pada Maret 2008. Tim eksaminasinya terdiri dari ahli Hukum Tata Negara (HTN), ahli pendidikan, serta ahli Hak Asasi Manusia (HAM). “Jumlahnya ada lima orang,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (25/2). Nama-nama seperti Zaenal Arifin Mukhtar (pakar HTN dari UGM), Winarno dan HAR Tilaar (Pakar Pendidikan), serta peneliti dari ELSAM sudah confirm untuk ikut serta.

Meski eksaminasi baru akan dilakukan pada Maret, Koalisi Pendidikan sudah memiliki penilaian awal terhadap putusan itu. Dalam siaran persnya, Koalisi Pendidikan menuding bahwa MK telah memutus melebihi kewenangannya. Febridiansyah menilai, dalam perkara ini, MK tak menguji UU dengan UUD 1945, tetapi menguji antar pasal dalam sebuah UU.

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstiusi Natabaya, Mahkamah mengatakan UU Sisdiknas, Pasal 1 angka 3, menentukan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berarti juga termasuk gaji pendidik. Ketetuan Pasal 49 ayat (1) yang memisahkan gaji guru dan anggaran pendidikan dinilai membuat tak konsistennya UU Sisdiknas.

“Yang kita ketahui kewenangan MK menguji UU dengan UUD'45, bukan memutus konsisten atau tidak konsistennya sebuah UU,” kritik Febry. Pendapat Febry tersebut sejalan dengan dissenting opinion Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Harjono. Menurut kedua Hakim Konstitusi tersebut sama sekali tak ada pertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, seperti yang didalilkan pemohon. “Tidak terdapat konstitusionalitas norma yang harus dipermasalahkan,” ucap Maruar Siahaan saat sidang pembacaan putusan.

Artinya, jelas Febry, MK sedang menguji salah satu bagian dari sebuah Undang-Undang dengan bagian lain dalam Undang-Undang itu sendiri. “Kalau pun terdapat pertentangan dan inkonsistensi dalam sebuah Undang-Undang, maka itu bukanlah kewenangan MK,” tambahnya.

Menafikan Putusan

Koalisi Pendidikan sepertinya tak main-main dengan eksaminasi putusan tersebut. Bila ternyata hasil eksaminasi sama dengan analisa awal Koalisi Pendidikan terkait putusan MK melebihi kewenangannya, maka pemerintah serta DPR diminta untuk menafikan putusan itu. “Hasil eksaminasi ini akan menjadi bahan pemerintah untuk mengesampingkan putusan MK itu,” kata Febry.

Febry pun tak asal omong. Upaya menafikan putusan MK sudah ada yurisprudensinya. Contohnya, adalah Putusan MK mengenai Penjelasan Pasal 2 UU No. UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kala itu, MK menghapus perbuatan hukum materil dari tindak pidana korupsi karena tak punya standar kepastian hukum.

Uniknya, tak semua hakim mengikuti putusan itu. Ada hakim yang tak lagi menggunakan perbuatan hukum materil dalam pertimbangan putusannya, tapi ada juga hakim yang tetap menggunakan. Jumlah hakim yang menerabas putusan MK tersebut tak sedikit. Hal ini diartikan Febry sebagai langkah institusi Mahkamah Agung (MA) yang mengesampingkan putusan MK. “Ini kan pernah terjadi,” ujarnya mengkaitkan usulannya kepada pemerintah dan DPR untuk mengesampingkan putusan MK tentang UU Sisdiknas.

Apakah pemerintah dan DPR akan mengikuti saran dari Koalisi Pendidikan dengan mengesampingkan putusan MK perlu ditunggu saat pembahasan APBN tahun depan? Pro kontra akan terus terjadi. Beberapa waktu lalu, Ketua Komisi X yang membidani masalah pendidikan Irwan Prayitno mengungkapkan, ada perbedaan pendapat anggota DPR dalam memasukan gaji pendidik dan pendidikan kedinasan ke dalam anggaran pendidikan.

“Bila pasal tersebut (Pasal 49 ayat (1), red) diubah maka semangat untuk meningkatkan pendidikan akan semakin berkurang,” jelas Irwan. Pandangan dari Departemen Pendidikan Nasional pun mirip. Pada kesempatan yang sama, Staf Menteri Pendidikan Teguh Juwarno berpendapat senada dengan anggota Fraksi PKS itu. Namun, pendapat keduanya dikutip jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Menarik disimak, apakah pendapat perwakilan pemerintah dan DPR itu tetap konsisten atau akan berubah seiring putusan MK ini.

Peluang Fifty-fifty

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN) Firmansyah Arifin membaca peluang dinafikannya putusan ini di DPR fifty-fifty. Ia mengatakan, di satu sisi, putusan ini memberikan kemudahan untuk DPR dan Pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, disisi lain, Firman meyakini masih ada anggota Komisi Pendidikan DPR yang peduli dengan nasib pendidikan.

Secara pribadi, Firman mengkui bisa memahami penolakan putusan ini dari Koalisi Pendidikan. “Penafian ini merupakan upaya untuk mengembalikan esensi sebenarnya anggaran pendidikan 20 persen dalam UUD'45,” ujarnya. Meski begitu, ada dilema tersendiri antara menafikan putusan untuk kemajuan pendidikan Indonesia dengan menghormati upaya hukum yang besifat final dan mengikat.

(Ali)

Hamka Yamdhu Dicekal

[25/2/08]

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan surat permohonan cegah tangkal (cekal) terhadap anggota Komisi XI DPR Hamka Yamdhu. "Kami kirim via pos," ujarnya Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra M Hamzah usai menghadiri pelantikan sejumlah Eselon II di Dephukham, Jakarta, Senin (25/2). Namun, dia tak menyebutkan kapan surat tersebut dikirim ke KPK.

Direktur Penindakan Keimigrasian Dephukham Syaiful Rachman membenarkan adanya upaya pencegahan terhadap yang bersangkutan. "Sejak 25 Februari, dia dicegah keluar negeri dan berlaku selama setahun," urainya.

Syaiful menerangkan surat larangan keluar negeri itu bernomor F4-IL.01.02-3.01.02. Sedangkan surat permintaan dari KPK bernomor R.521/01/II/2008 tertanggal 25 Februari 2008 yang diteken oleh Chandra M Hamzah. Ia menjelaskan, permintaan pencekalan kepada Hamka oleh KPK dimaksudkan untuk kepentingan penyidikan kasus dugaan aliran dana BI pada 2003.

Sebelumnya, Hamka mangkir dari panggilan KPK pada Jumat (22/2). Hamka tidak memenuhi panggilan KPK pada pemeriksaan keduanya tanpa konfirmasi apapun. Hamka diperiksa sebagai saksi terkait kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR RI.

Hamka bersama Antony Zeidra Abidin yang saat itu masih menjabat sebagai anggota Komisi IX DPR menerima uang dari Rusli Simanjuntak (saat itu menjabat sebagai Deputi Gubernur BI).

()

Demi Jimly, Independensi DPR Dipertaruhkan

[25/2/08]

Kalau Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie benar-benar ikut seleksi lewat pintu DPR, hampir bisa dipastikan ia akan lolos. Hanya, DPR masih perlu mengutak-atik mekanisme fit and proper test yang pas untuk calon incumbent seperti Jimly.

Pengumuman pelaksanaan seleksi hakim MK oleh DPR di media massa beberapa waktu lalu seperti tidak ada artinya. Sebab, setelah pendaftaran ditutup, nyatanya DPR masih menerima 'pendaftaran'. Hanya, kali ini yang boleh turut serta bukan masyarakat biasa, melainkan fraksi-fraksi di DPR.

Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan memberi alasan, 16 nama yang kini dikantongi DPR—hasil seleksi dari 21 pendaftar—masih jauh dari harapan. “Kami tidak tahu track record mereka,” ujarnya, di Gedung DPR, Senin (25/2). Sebagian besar para pendaftar itu adalah praktisi hukum dan akademisi yang kemampuannya masih diragukan. Mereka juga dianggap tidak memenuhi parameter seorang negarawan.

Setelah melakukan evaluasi, Tim Kecil yang diketuai Mulfachri Harahap punya dua solusi. Solusi pertama ialah membuka perndaftaran baru. Solusi kedua adalah memberi kesempatan kepada tiap fraksi untuk mengusulkan calon. “Akhirnya yang mengemuka, fraksi boleh mengusulkan. Merujuk kepada periode yang lalu,” beber Trimedya.

Sejauh ini baru empat fraksi yang mengusung calonnya: F-PG mencalonkan Akil Mukhtar, F-PAN mencalonkan Jimly Asshiddiqie, F-PPP mencalonkan Jimly Asshiddiqie dan Deddy Ismaullah, serta F-PKS mencalonkan Prof. Mahfud MD, Akil Mukhtar dan Taufikurrahman Syahuri.

Seperti diduga sebelumnya, para wakil rakyat masih kepincut kepada sosok Jimly. Tidak mengherankan, bersama Prof. Mahfud MD dan Akil Mukhtar, Jimly disebut-sebut punya kans paling besar dibanding calon-calon lain. Fachri Hamzah, anggota Komisi III dari FPKS, bahkan memprediksi ketiga orang itu bakal melenggang dengan lancar. “Pak Jimly itu kurang apa? Prof. Mahfud MD dan Pak Akil kita tahu adalah orang yang sangat kompeten,” ucapnya.

Anggota Komisi III dari FPG Aziz Syamsuddin membantah pendaftar yang diusung fraksi mendapat jaminan lolos. “Kalau memang nggak patut, ya tidak diloloskan,” ungkapnya.

Soal independensi memang menjadi pertaruhan besar bagi Komisi III, apalagi calon yang digadang-gadang itu adalah Jimly Asshiddiqie yang masih menjabat Ketua MK serta Prof. Mahfud MD dan Akil Mukhtar yang tergolong 'orang dalam' DPR. Apakah DPR akan tetap obyektif? “Mudah-mudahan iya,” jawab Trimedya.

Nasib Incumbent

Jika Jimly Asshiddiqie ikut serta dalam pencalonan ini, maka terdapat dua calon incumbent: Harjono yang dulu dipilih pemerintah dan Jimly yang dulu dipilih DPR. Berbeda dengan Harjono yang mendaftar sendiri, Jimly lebih memilih 'dipinang'. Ini sesuai dengan statemennya di beberapa kesempatan. Ia menolak ikut seleksi bila harus menjalani fit and proper test lagi.

Terhadap dua calon itu, rencananya bakal diterapkan mekanisme yang berbeda. Jimly, karena dulu pernah lolos fit and proper test, diusulkan agar tidak perlu menjalani fit and proper test lagi. Sementara itu Harjono, karena dulu tidak perlu menjalani fit and proper test, diusulkan agar mengikuti fit and proper test.

Itu masih wacana,” kata Fachri. Ia membeberkan, pandangan Komisi III secara umum terpilah menjadi dua. Empat fraksi (FPAN, FPD, FPDS dan FPDIP) ingin agar calon incumbent diperlakukan sama dengan calon yang lain. Sedangkan enam fraksi lainnya berharap agar calon incumbent diberi privelege.

Teka-teki ini akan dipecahkan pada rapat Selasa (26/2) malam. Hal lain yang akan dibahas adalah penentuan jadwal fit and proper test.

Tabrak Undang-Undang?

Dibanding dengan proses pemilihan pimpinan lembaga negara semacam KPK dan KPU, proses pemilihan hakim MK ini sedikit menyimpang. Dua yang gamblang ialah adanya calon dari fraksi dan –kemungkinan—tiadanya fit and proper test bagi calon incumbent.

Masih belum pudar dari ingatan, Amien Sunaryadi dicecar habis-habisan oleh Komisi III ketika mengikuti lagi seleksi pimpinan KPK. Ia sama sekali tidak diistemawakan meskipun menjadi satu-satunya peserta yang incumbent.

Menurut Aziz Syamsuddin, mekanisme seleksi hakim MK tidak bisa disamakan dengan seleksi pimpinan lembaga semacam KPK dan KPU. Sebab, kedudukan MK setara dengan MA, bahkan Presiden.

“Rapatnya saja sudah beda. Kalau KPK dengan DPR itu rapat dengar pendapat. Kalau MK dengan DPR itu rapat konsultasi,” kata Aziz. Dengan demikian, lanjutnya, DPR tidak melanggar Undang-Undang apapun, termasuk Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang MK.

Sementara itu, Haris Azhar dari Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi, menghimbau agar DPR bertindak sebagai fasilitator buat masyarakat, bukan suksesor bagi orang partai. “Bukan hak absolut DPR untuk memasukan orang-orang partainya ke dalam pencalonan,” ujarnya.

Bila DPR berharap mendapat calon yang sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU MK, Haris menyarankan agar Komisi III mengajukan lamaran kepada calon tersebut. Ini karena, berdasarkan pengalaman, pakar tata negara yang negarawan biasanya enggan mendaftarkan diri.

(Her/Ali)

Atas Nama HAM, BPK-Depkeu Perdebatkan Kerahasiaan Data Pajak

[25/2/08]

Menteri Keuangan berpendapat, kerahasiaan data merupakan hak asasi wajib pajak. Sedangkan BPK berargumen publik punya hak asasi atas informasi posisi keuangan negara. Pertempuran dua lembaga itu makin seru di Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) menyisakan silang sengketa di antara dua lembaga. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara merasa tugasnya dihalangi pihak pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam mengaudit data pajak.

Uniknya, kedua kubu sama-sama mengusung argumen demi hak asasi manusia (HAM). “Menkeu memandang data wajib pajak adalah rahasia. Setiap wajib pajak punya hak asasi untuk dilindungi. Sedangkan kami menilai warga juga punya hak asasi untuk mengetahui pengelolaan keuangan negara,” tutur Kepala Auditoriat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Hendar Ristriawan.

Hendar mengantongi mandat Pasal 23 E UUD 1945. “Hak asasi manusia adalah kewajiban bagi negara. Dan BPK adalah lembaga negara yang berwenang memeriksa setiap sen uang negara yang dikelola oleh pemerintah. Dalam hal ini pendapatan pajak.” Hendar mengeluh, Menteri Keuangan masih pelit memberikan izin auditor BPK memeriksa data pajak. Beberapa waktu lalu BPK mengajukan uji materi atas UU KUP ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia Ahmadi Hadibroto menginginkan adanya jalan keluar dari silang sengketa ini. “Kewajiban merahasiakan data wajib pajak itu mutlak. Tapi ketentuan kerahasiaan itu harus jangan mengorbankan hak masyarakat untuk memperoleh informasi keuangan negara,” ujarnya. Kali ini Ahmadi, yang juga akuntan dari Kantor Akuntan Publik KPMG Hadibroto itu berpendapat sebagai pribadi.

Sebenarnya BPK dan DJP sempat merintis nota kesepahaman (MoU) untuk meredakan “permusuhan” ini. Sayang, dengan makin meruncingnya friksi, BPK menghentikan MoU tersebut. “MoU toh tak bisa membatalkan pasal sebuah undang-undang. Sebuah peraturan pemerintah pun tak boleh menyalahi UU-nya,” kilah Hendar.

Laporan Keuangan vs Kinerja

BPK mengenal tiga jenis audit. Pertama, audit laporan keuangan. Kedua, audit kinerja. Dan ketiga, audit dengan tujuan tertentu alias investigatif. Untuk masalah data pajak ini, BPK berencana menggelar dua jenis audit yang pertama.

Audit laporan keuangan berarti pemeriksaan neraca yang disusun oleh pemerintah. “Kita audit piutang pajaknya,” tutur Hendar. Dengan demikian, BPK hendak mengulik data-data seputar Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), keterangan kurang bayar, maupun keterangan lebih bayar.

Menurut Hendar, kegiatan audit ini bukanlah sensus yang harus mengobok-obok seluruh berkas yang ada. “Tak mungkin kami sanggup melakukannya. Kami hanya ambil sampel. Dan seberapa banyak data yang kami ambil, tergantung pada keandalan sistem informasi internal DJP.” Dengan demikian, sambung Hendar, ketakutan wajib pajak datanya digembol oleh auditor BPK tak beralasan.

Lagipula, BPK hanya memeriksa kecocokan data yang ada dalam SPT dengan pencatatan dalam neraca. “Kami tak mau terlalu jauh menelusuri, misalnya penggelapan pajak oleh salah satu wajib pajak. Itu bukan kewenangan kami,” sambung Hendar.

BPK menggelar audit kinerja (performance audit) untuk memeriksa kinerja pasukan petugas pajak. “Mayoritas, lebih dari 80 persen pendapatan negara berasal dari pajak. Aneh kalau pemerintah tidak terbuka,” ujar ahli hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia Arifin Soeriaatmadja.

Arifin menduga, ketentuan kerahasiaan dalam UU KUP ini disalahgunakan oleh para petugas pajak yang doyan kongkalikong dengan wajib pajak. “Sudah rahasia umum. UU ini dipakai untuk berlindung oleh para petugas pajak dan wajib pajak untuk melanggengkan praktek yang tidak benar,” Katanya.

Cuma, untuk audit kinerja ini, Ahmadi merasa kurang yakin pada kemampuan BPK. “Setidaknya bisa dibuat joint committee. Tak hanya dari BPK. Karena belum tentu BPK sendirian melakukan audit kinerja, hasilnya berkualitas. Audit yang satu ini harus hati-hati.” Arifin pun menyepakati pandangan Ahmadi ini.

Berkaitan dengan seberapa jauh kewenangan masing-masing lembaga, Hendar mempersilakan DJP membuat tata cara pengambilan data demi menjaga kerahasiaan. “Misalnya, pertama, auditor BPK hanya memeriksa data di ruang tertutup. Kedua, data yang diperiksa tak boleh dibawa keluar ruang. Setelah memeriksa, auditor kami mengembalikannya ke DJP,” Tuturnya.

Menurut Hendar, kekhawatiran wajib pajak datanya disalahgunakan oleh BPK adalah omong kosong. Auditor harus memegang kode etik yang ketat. “Setiap auditor dan bahkan anggota BPK yang menyalahgunakan wewenangnya bisa dikenai sanksi pidana satu hingga tiga tahun dan denda Rp1-3 miliar,” Tegasnya.

Sidang Judicial Review

Hendar mengungkapkan, Rabu (27/2) merupakan sidang lanjutan uji materi UU KUP. Kali ini para hakim konstitusi mendengarkan kesaksian para saksi ahli dari dua kubu. “Para hakim menyarankan dua pihak jangan banyak-banyak mengusung saksi. Besok (26/2) intern BPK rapat dan memutuskan siapa saja yang kompeten menjadi saksi ahli,” jabar Hendar.

Arifin berpendapat Pasal 74 UU KUP memang harus diubah. BPK, berdasarkan Pasal 23 E UUD 1945, memang punya kewenangan untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. “BPK adalah lembaga tinggi negara. Negara bisa jadi subyek hukum. Dan pemerintah bukan subjek hukum. Makanya pemerintah harusnya terbuka pada akses pemeriksaan.” Arifin mengusulkan rumusan yang lebih detil data mana saja yang dirahasiakan serta mana saja yang boleh dijamah BPK.

Meski memiliki beberapa pandangan soal masalah ini, Ahmadi cenderung enggan menjadi saksi ahli. “Jangan tanya saya seputar perihal hukumnya. Terserah BPK nanti,” ujarnya ketika dikonfirmasi soal kesediaannya menjadi saksi ahli. Lagipula, sambung Ahmadi, dia berperan sebagai individu, bukan mewakili suara IAI. “Kami secara organisasional belum pernah membuat pernyataan resmi tentang hal ini,” pungkasnya.(Ycb)

penulis opini terbukti menghina institusi Kejaksaan

[20/2/08]

Hakim menyatakan si penulis opini terbukti menghina institusi Kejaksaan. Tak ubahnya seperti iklan yang menyesatkan konsumen.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menghukum wartawan senior Bersihar Lubis satu bulan penjara dan membayar biaya perkara. Namun, Bersihar tidak perlu menjalani hukuman itu kecuali dalam waktu tiga bulan ke depan melakukan tindak pidana yang sama.

Putusan tersebut dibacakan majelis hakim dipimpin Suwidya dalam sidang yang dipadati pengunjung, Rabu (20/2) siang. ”Penulis opini tetap punya tanggung jawab secara pribadi atas tulisannya,” papar majelis.

Dalam pandangan majelis, penulisan opini berbeda dengan penulisan berita biasa. Kalau dalam berita biasa, seorang wartawan harus cover both sides dan harus memenuhi kaedah jurnalistik. Sementara dalam penulisan kolom si penulis bisa menuangkan apa saja. Sekalipun sebuah kolom opini atau artikel ditulis seorang wartawan dan pemuatannya tergantung kebijakan redaksi surat kabar, si penulis tetap tak bisa melepaskan tanggung jawab. Apalagi nama dan identitas penulis kolom tercantum dengan jelas.

Majelis hakim membandingkan dengan iklan di koran yang merugikan konsumen. Dalam kasus semacam ini, bukan media tempat pemuatan iklan itu yang dipersalahkan, melainkan pihak yang membuat iklan menyesatkan tersebut. Atas dasar pemikiran itulah antara lain yang membuat majelis sepakat memvonis Bersihar Lubis satu bulan penjara.

Bersihar dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan menghina suatu penguasa umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Ia dijerat dengan pasal 207 KUHP. Perkara yang menyeret Bersihar adalah kolomya di harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Di sana ia menulis kolom berjudul ’Kisah Interogator yang Dungu’.

Kolom itu pada dasarnya merupakan kritik penulis terhadap kebijakan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran buku-buku sejarah. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan memang melarang edar buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI dalam uraian peristiwa pemberontakan komunias 1965, yang kemudian dikenal sebagai G.30.S.

Dalam tulisannya, Bersihar merujuk pidato Yusuf Isak dalam acara Hari Sastra Indonesia di Paris pada Oktober 2004. Dalam pidatonya, Yusuf menguraikan saat dirinya diperiksa aparat Kejaksaan terkait penerbitan buku-buku sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidatonya berbahasa Inggris, Yusuf menyebutkan kata-kata idiot. Dari situlah Bersihar menggunakan kata dungu. Yusuf sendiri menjadi saksi dalam perkara ini. Dalam kesaksiannya, Yusuf membenarkan pernah diinterogasi aparat Kejaksaan, tetapi membantah telah dianiaya. Ia juga tidak ingat apakah pernah mengucapkan kata-kata interogator dungu untuk menyebut interogator yang tidak tahu buku-bukunya Pramoedya.

Kata ’dungu’ menurut majelis lebih berat artinya dari sekedar bodoh. Tidak tahu buku-buku Pramoedya bukan berarti bisa disebut dungu. Menurut majelis, Bersihar bukan saja mengutip kata-kata Yusuf Ishak tetapi sudah menambahkan dengan kata-kata baru. Karena itu, unsur dengan sengaja dan unsur menghina suatu penguasa umum terbukti. Majelis juga berpendapat, UU No. 40/1999 tentang Pers tidak bisa diterapkan dalam perkara ini.

Bersihar dan tim kuasa hukumnya dari LBH Pers mengecam putusan majelis. Abu Said Pelu, anggota tim pengacara, sempat interupsi sebelum hakim Suwidya mengetok palu akhir sidang. Abu Said menilai vonis majelis telah merobek-robek rasa keadilan dan kebebasan pers. Olah karena itu, mereka memastikan mengajukan banding.

Pengamat pers Abdullah Alamudi juga ikut mengecam. Sebab, putusan majelis menjadi ancaman bagi kebebasan menyampaikan pendapat. Orang yang ikut menuangkan pikiran ke dalam kolom atau artikel di media massa akan berpikir dua kali karena bisa saja terancam kriminalisasi, seperti yang dialami Bersihar.

Agenda sidang pembacaan vonis itu diwarnai aksi damai sejumlah wartawan dan pemerhati pers. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, berharap Bersihar dibebaskan. Jangan sampai vonis majelis hakim menabrak Konstitusi.
(Mys)


Minggu, 24 Februari 2008

BI Bantah Isu Pengunduran Anggota Dewan Gubernur

[21/2/08]

Bank Indonesia (BI) mambantah isu pengunduran diri beberapa anggota Dewan Gubernur BI yang marak beredar di media massa. Isu itu terkait dengan usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengajukan dua nama calon Gubernur BI yang berasal dari luar lingkungan BI. Kabarnya, pencalonan itu membuat gerah para "dewa" di bank sentral tersebut.

"Kami tegaskan bahwa isu dan berita tersebut tidak benar," kata Kepala Biro Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat, Filianingsih Hendarta dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Kamis (21/2) malam.

Fili–begitu Filianingsih disapa–mengatakan seperti yang telah disampaikan sebelumnya oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia, bahwa seluruh anggota Dewan Gubernur dan pegawai BI mendukung siapa pun yang memimpin otoritas moneter tersebut. "Dewan Gubernur terus menjaga integritas dan profesionalisme untuk menjalankan tugas yang diamanatkan negara dalam menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan," tandasnya.

Setiap Fraksi Boleh Usulkan Tiga Nama"Seleksi Hakim MK"

[23/2/08]

Kini ada dua kelompok yang meramaikan seleksi hakim MK lewat DPR: pendaftar personal dan pendaftar melalui fraksi.

Proses seleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar DPR dipastikan molor. Fit and Proper Test tidak bisa digelar pada 25-27 Februari. Ini karena DPR masih menunggu calon yang diusulkan fraksi. Selain itu, DPR masih belum satu suara soal mekanisme Fit and Proper Test.

Ketua Tim Seleksi dari Komisi III DPR, Mulfachri Harahap menyatakan, DPR membuka kesempatan kepada seluruh fraksi untuk mengirimkan dutanya. “Kami masih menunggu calon yang diusulkan fraksi,” ujarnya, ketika dihubungi hukumonline, Jumat (22/2).

Setiap fraksi diberi kesempatan mencalonkan hingga tiga orang. Senin, (25/2) merupakan batas akhir pendaftaran. Menurut Mulfachri, sejauh ini belum ada satupun calon yang diusung fraksi.

Seperti halnya Mahkamah Agung dan Presiden, DPR memang punya kewenangan untuk mengusulkan tiga hakim konstitusi. Tiga dari sembilan hakim MK periode sekarang yang dulu dicalonkan DPR adalah Jimly Asshiddiqie, Achmad Roestandi, dan I Dewa Gede Palaguna. Karena pada 1 Maret nanti Roestandi bakal pensiun, DPR mesti sigap menyiapkan penggantinya.

DPR secara resmi membuka pendaftaran calon hakim MK pekan kemarin. Hingga kini sudah terjaring 21 nama. Tiga di antaranya merupakan anggota Dewan, yaitu Prof. Mahfud MD dari Partai Kebangkitan Bangsa, serta Akil Mochtar dan Victor Bungtilu Laisdokat dari Partai Golkar.

Harjono, Hakim MK yang dulu diusung pemerintah, juga turut mendaftar sabagai calon incumbent.

Menjelang Fit and Proper Test, sikap DPR ternyata berubah drastis. Sebelumnya, sebagaimana diungkapkan Mulfachri, DPR hanya 'melayani' pendaftar personal, bukan pendaftar yang diusung fraksi. Hal ini demi menghindari diskriminasi.

Dengan demikian, kini ada dua kelompok yang meramaikan seleksi hakim MK lewat DPR: pendaftar personal dan pendaftar melalui fraksi. Meski berposisi sebagai anggota dewan, Prof. Mahfud MD, Akil Mochtar dan Victor Bungtilu Laisdokat ternyata terhitung sebagai pendaftar personal.

“Bedanya, kalau pendaftar dari fraksi berarti diusulkan oleh fraksi, pendaftar independen mendaftar karena inisiatif sendiri,” kata Mulfachri. Di luar itu, persyaratan yang diberlakukan sama saja.

Awal pekan ini Komisi III akan menggelar pembahasan akhir mekanismde dan tata cara fit and proper test. Silang pendapat terjadi dalam hal calon incumbent. Sebagian anggota dewan menginginkan semua calon diperlakukan sama, sebagian yang lain usul agar calon incumbent diberi keistimewaan.

Pemberian priveledge itu bisa ditempuh dengan dua cara. “Ada yang bilang cukup evaluasi kinerja selama satu periode. Ada juga yang berpendapat cukup diminta menulis makalah. Nah, makalah itu yang akan didalami oleh anggota DPR,” beber Mulfachri.

Tunggu Masukan

Seperti halnya proses seleksi calon hakim agung, seleksi calon hakim MK juga menuai kritik tajam. Koalisi Pemantau Peradilan menyoroti tiadanya transparansi dan partisipasi publik pada seleksi hakim MK kali ini. Mereka berpendapat, DPR maupun MA tidak memberikan informasi yang memadai mengenai tahapan dan waktu seleksi. Selain itu, “Kami menilai bahwa proses pemilihan calon hakim MK tidak memiliki standar baku dan prosedur yang baik,” kata Zainal Abidin dari YLBHI.

Ronald Rofiandi dari PSHK menambahkan, DPR tidak terbuka mengenai rekam jejak para pendaftar. Di samping itu, DPR tidak menyediakan saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. ”Padahal saluran itu bisa saja disediakan misalnya di situs resmi DPR,” kritiknya.

Mulfachri menyatakan kritik seperti itu tidak fair. ”KPP terlalu terburu-buru berkomentar,” ujarnya. Proses seleksi dari awal hingga akhir, tandasnya, selalu terbuka dan melibatkan partisipasi publik. ”Pengumuman di media massa dan fit and proper test yang terbuka itu buktinya.”

Tim seleksi di DPR, imbuh Mulfachri, selalu berharap masukan dari masyarakat. Masukan itu bisa disampaikan lewat sekretariat.

(Her)

Masih Tetap Pengadilan “Ayam-Telor”

[23/2/08]

Putusan MK tak berdampak apapun terhadap kesimpangsiuran Pengadilan HAM Ad Hoc selama ini. Meski demikian, masih dibutuhkan revisi untuk memperjelas alur perkara.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM sudah mencabut kewenangan DPR untuk turut campur melakukan penyelidikan dan penyidikan. Lembaga wakil rakyat itu tidak bisa lagi menentukan locus dan tempus delicti dalam perkara pelanggaran HAM. Bahkan, DPR juga tidak bisa ikut menduga-duga seperti yang sebelumnya diperbolehkan di dalam UU Pengadilan HAM. Melalui putusannya, MK sudah menyetip kata ‘dugaan’ dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM.

Dalam putusannya, MK berpendapat bahwa keterlibatan institusi politik malah diperlukan sebagai representasi keinginan rakyat. Rekomendasi dari lembaga perwakilan kepada Presiden dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc justru merupakan bukti adanya keinginan publik untuk mengadili sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ini berarti para wakil di Senayan masih memegang bola panas dalam pemrosesan perkara HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Setidaknya, YLBHI menilai putusan MK itu sebagai batasan bagi DPR untuk tak lagi ikut menentukan ada-tidaknya pelanggaran HAM. Dengan demikian, DPR harus memberikan keputusan politik berupa rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc dari hasil kerja Komnas HAM dan Kejaksaan. Artinya, DPR tidak boleh terburu-buru mengkandaskan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc.

“DPR tidak bisa sewenang-wenang menolak rekomendasi pembentukan pengadilan HAM Ad hoc tanpa melalui proses di Komnas HAM dan Kejagung,” kata Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen.

Dengan alur seperti ini diharapkan tidak ada yang main serobot. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dipersilahkan bekerja lebih dulu, setelah itu DPR baru mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. “Fungsi DPR saat ini hanya menjadi stempel,” kata Mahendradatta, salah satu kuasa hukum Guiterres.

Meski keburu disambut gembira oleh sejumlah kalangan, putusan itu ternyata tidak merambah pada perdebatan ‘ayam-telur’ dalam proses pembentukan Pengadilan HAM. Seperti diketahui, selama ini terjadi tarik ulur dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. DPR selalu merasa tidak ada bukti cukup untuk membuat rekomendasi lantaran belum ada hasil penyidikan. Sedangkan kejaksaan tak pernah mau memulai penyidikan sebelum Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk.

Patrialis Akbar, anggota Komisi III DPR, menganggap pendapat semacam Patra dan Mahendradatta tidaklah tepat. Putusan MK, ujar dia, tidak mengubah apapun dalam alur proses pengadilan HAM Ad Hoc. Setali tiga uang dengan pendapat MK, menurut Patrialis rekomendasi dari DPR tetap diperlukan. “Kejaksaan Agung tidak bisa bekerja kalau pengadilannya belum ada,” ungkap politikus PAN ini.

Anggota DPR tampaknya seakan melempar batu pada Kejaksaan. “Bagaimana DPR bisa bekerja (merekomendasikan pengadilan ad hoc HAM) kalau tidak tahu hasil penyidikannya. Kalau hanya penyelidikan Komnas HAM tidak punya otentifikasi dari sebuah pemeriksaan,” ujar Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR lainnya. Ia berpendapat, Jaksa Agung justru mesti tegas untuk segera melakukan penyidikan sebagai dasar DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Boleh jadi terganjalnya sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat selama ini di Senayan disebabkan rendahnya pengakuan DPR terhadap temuan Komnas HAM seperti diungkapkan Gayus. DPR tidak yakin dengan temuan Komnas sebelum ada penyidikan dari Kejaksaan. Padahal, mengutip keterangan dari M Sholehuddin, salah satu ahli dalam sidang pengujian UU Pengadilan HAM, Komnas HAM secara tegas sudah ditunjuk UU Pengadilan HAM sebagai institusi yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM.

Pihak Kejaksaan pun mengamini pendapat anggota DPR itu. “Gimana melakukan penyidikan kalau pengadilannya nggak ada?” cetus Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman di Kompleks Gedung Kejaksaan Agung, Jumat (22/2). Dalam pandangan Kejaksaan, tindakan penyidikan dan penuntutan merupakan bagian dari prosedur berperkara yang dalam beberapa hal membutuhkan ijin dari Pengadilan.

Dalam penyidikan, lanjutnya, Kejaksaan mesti melakukan penyitaan dan penggeledahan. Penyidik juga harus melakukan penahanan terhadap tersangka pelanggar HAM berat. Dan, jika diperlukan, penyidik juga bisa mengajukan perpanjangan penahanan. Ketiga tindakan itu, ujar Kemas, “Harus atas ijin pengadilan. Mau minta perpanjangan penahanan juga atas ijin pengadilan. Kalau pengadilannya nggak mau, lantas minta sama siapa?”.

Inilah persoalannya. Terjadi saling lempar. Sebagai contoh, setahun lalu, pada 13 Maret 2007, Badan Musyawarah DPR menyatakan tidak melanjutkan penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi (TSS).

Beberapa waktu lalu, Usman Hamid –Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)– menyarankan agar Kejaksaan langsung melanjutkan penyidikan begitu ditemukan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. “Tak perlu menunggu pembentukan pengadilan,” cetusnya. Untuk pembentukan pengadilan, bisa dilakukan setelah semua bukti terkumpul, tersangka sudah ditetapkan, dan hanya tinggal melakukan penuntutan saja.

Harus Direvisi

Menurut Patrialis, penyelesaian persoalan ini tidak semudah pendapat Usman. Satu-satunya jalan keluar untuk membereskan masalah ini adalah merevisi UU Pengadilan HAM. Tujuannya agar terdapat mekanisme yang runtut sehingga masing-masing lembaga tidak saling serobot atau sebaliknya, saling lempar tanggung jawab.

Meski alur pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc belum terumuskan secara gamblang, para penggiat HAM tetap mengapresiasi putusan MK ini. “Celah bagi DPR maupun Kejaksaan Agung untuk tidak mengusut pelanggaran HAM semakin sempit,” kata Patra.

Menurutnya, hasil judicial review ini bakal memuluskan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tiga di antaranya yang terbesar adalah kerusuhan Mei 1998, kasus Semanggi I dan II, serta penculikan sejumlah aktivis di awal masa reformasi.

(NNC/Her)

Pejabat Bapeten Tidak Terbukti Menyuap

[23/2/08]

Pemberian uang dari Hieronimus dan Sugiyo kepada Noor Adenan Razak tidak dinilai sebagai suap, melainkan sebagai tindakan yang menguntuntungkan Noor Adenan.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor telah ketuk palu dalam perkara korupsi pengadaan tanah Badan Pengawasan Teknologi Nuklir (Bapeten). Lewat putusan yang dibacakan pada Jumat (22/2), vonis itu tidak hanya menentukan nasib Hieronimus Abdul Salam (Sekretaris Utama Bapeten) dan Sugiyo Prasojo (Pimpinan Proyek Bapeten). Nasib Noor Adenan Razak, mantan anggota DPR, juga menjadi terang.

Kemungkinan Noor Adenan Razak yang kini ditahan KPK akan bebas dari tudingan menerima suap. Pasalnya, majelis hakim yang diketuai oleh Sutiono memutuskan bahwa Hieronimus dan Sugiyo tidak terbukti menyuap atau memberi gratifikasi kepada Noor Adenan.

Kedua terdakwa hanya terbukti melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Akibatnya Hieronimus divonis empat tahun hukuman penjara dan denda Rp200 juta, subsidair enam bulan kurungan. Sementara itu Sugiyo divonis lebih rendah. Ia divonis tiga tahun penjara dan dan denda Rp200 juta.

Dakwaan jaksa buah karya Sardjono Turin, Dwi Aries Sudarto dan Zet Tadung Allo yang menuding kedua terdakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 UU Korupsi dinilai tidak tepat.

Anggota majelis hakim Anwar menjelaskan kedua terdakwa memang terbukti memberikan uang kepada Noor Adenan berupa bilyet giro sebesar Rp1,277 miliar dan uang tunai Rp250 juta. Uang itu diberikan dirumah Noor Adenan di Komplek DPR Kalibata dan diterima oleh istri Noor Adenan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim membenarkan bahwa tujuan dari pemberian uang itu terkait dengan usulan pengajuan Anggaran Belanja Tambahan (ABT) tahun 2003 sebesar Rp20 miliar kepada Komisi XI DPR. Noor Adenan selaku ketua panitia anggaran diharapkan tidak mengubah usulan Bapeten tersebut. Setelah dikasih uang pelicin, terbukti usulan itu disetujui oleh DPR.

Menurut majelis tindakan terdakwa yang berusaha menemui dan memberikan uang pada Noor Adenan tidak bisa dikualifisir sebagai suap. Perbuatan itu hanya dinilai sebagai perbuatan yang telah menguntungkan orang lain. “Perbuatan terdakwa termasuk dalam rangkaian perbuatan sejenis yang ditentukan dalam Pasal 65 KUHP,” kata Anwar.

Sebab uang itu adalah uang hasil korupsi dalam pengadaan tanah yang berasal dari Midi Wiyono, Direktur PT Hoemar yang ditunjuk menjadi makelar tanah dan konsultan dalam proyek tersebut. Sebelum ABT itu disetujui, kedua terdakwa meminta Midi untuk menyiapkan uang tersebut, agar rencana pengadaan tanah tidak terhambat dengan janji bahwa uang itu akan dikompensasikan ke dalam anggaran proyek.

Karena itu, Midi mulai kasak kusuk mencari lokasi tanah yang akan dibangun menjadi gedung Pusdiklat Bapeten. Pencarian itu dimulai Midi dengan menemui Indrawan Lubis, pemilik tanah dan Jejen, makelar tanah di Puncak Bogor. Jejen kemudian mendapatkan tanah milik Komarudin dan Lasiman.

Midi juga menggaet notaris Fenny Sulifadarti untuk kongkalingkong soal pembayaran tanah. Fenny yang mengaku selaku kuasa penjual dari Indrawan, Lasiman dan Komarudin, menetapkan harga Rp312.700/m2. Harga itu disetujui oleh para terdakwa yang kemudian dituangkan dalam perjanjian jual beli tanah seluas 63.945 m2 senilai Rp19,995 miliar. Akta perjanjian itu sendiri dibuat oleh Fenny. Padahal saat itu, ABT belum turun.

Proses pengadaan tanah itu sendiri bertentangan dengan Keppres No.55/1993 tentang pengadan tanah untuk kepentingan umum dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No 1/1994. Sebab tanpa permohonan penetapan tanah dari Bupati Bogor, Fenny telah melakukan pembebasan tanah milik Lasiman, Komarudin dan Indrawan.

Hakim Sofialdi menerangkan seharusnya pengadaan tanah bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan penetapan lokasi tanah. Selain itu tidak bisa dilakukan secara individual, tapi harus melalui panitia pengadaan tanah (P2T) didaerah lokasi tanah. Setelah itu P2T akan melakukan meneliti status tanah, menaksir harga tanah dan melakukan musyawarah dengan pemilik tanah untuk menetapkan harga tanah.

Tindakan para terdakwa yang membiarkan terjadinya penyimpangan dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kewenangan. “Terdakwa seharusnya mencegah Fenny dan Midi melakukan penyimpangan,” tegas Sofialdi. Para terdakwa seharusnya menyerahkan pengadaan tanah itu kepada P2T, bukan malah mengarahkan Midi untuk mencari tanah dan menunjuknya sebagai konsultan.

Akibat penyimpangan prosedur itu, pemilik tanah jadi korban. Saat dana ABT turun uang sebesar Rp19,995 miliar langsung ditransfer ke rekening Fenny. Namun, pemilik tanah tidak menerima pembayaran sesuai harga yang disepakati. Harga yang sampai ke tangan pembeli hanya Rp170.000/m2.

Komarudin hanya menerima uang sebesar Rp500,821 juta dan Lasiman sebesar Rp125,970 juta. “Selisih itu tidak dinikmati oleh pemilik tanah melainkan oleh Fenny selaku kuasa penjual,” terang hakim Slamet subagiyo. Sedangkan, Indrawan Lubis telah bersepakat dengan Midi dan Fenny untuk menyerahkan keuntungan sebesar Rp2 miliar kepada Fenny. Uang yang diterima Indrawan hanya sebesar Rp7,88 miliar.

Dari pembagian itu, sisa uang sebesar Rp9,5 miliar diberikan kepada Midi. Kemudian Midi secara bersangsur-angsur membagikan uang itu kepada para terdakwa. Sugiyo menerima uang Rp 50 juta dan Hieronimus sebesar Rp2,234 miliar. Sisanya antara lain diberikan kepada mantan Kepala Bapeten Azhar Zalwi sebesar Rp500 juta, Kepala Bapeten Sukarman Aminjaya Rp400 juta, panitia lelang Rp100 juta dan untuk Bapeten.

“Dengan demikian telah terdapat kerja sama yang erat antara para terdakwa, Midi dan Fenny untuk melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Slamet Subagiyo.

Usai bersidang, saat ditanya soal kemungkinan Fenny dan Midi ditarik menjadi pesakitan dalam perkara itu, jaksa Sardjono Turin menyatakan akan mempelajari putusan majelis hakim terlebih dahulu. Sedangkan Hieronimus langsung menyatakan banding. Sementara Sugiyo belum memutuskan sikap.

(Mon)