Sabtu, 23 Februari 2008

Ada Titik Terang dalam Kasus Hotel Indonesia

[20/2/08]

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirrnya mengeluarkan penetapan eksekusi terhadap sejumlah aset PT Hotel Indonesia Natour (PT HIN) setelah 4 tahun terkatung-katung tanpa kejelasan.

Penetapan ini merupakan kelanjutan dari upaya mantan karyawan PT HIN yang mengajukan permohonan lelang atas aset-aset PT HIN yang telah dieksekusi pada 19 Februari. Upaya karyawan ini dilakukan melalui kuasa hukum mereka dari LBH Jakarta, yakni Hermawanto, Restaria F. Hutabarat, dan Febi Yonesta.

Meski demikian para karyawan belum bisa bernafas lega. Pasalnya, eksekusi tersebut masih belum jelas. Mereka berharap agar segera dilakukan pelelangan atas aset-aset PT HIN yang disita untuk membayar hak para karyawan yang telah terabaikan selama 4 tahun. Hingga saat hanya tersisa 11 orang mantan karyawan PT HIN yang belum menerima haknya. Mereka antara lain Windu Wahyudi, Ahmad Yusuf, Hermansyah, Maman Resmana, Chaerul Muluk, Iwan Suherlan, M. Amin Selian, Darmawan, Haryono, Supriyono, dan Dennis DY Souhokka.

Sita eksekusi tersebut telah dilaksanakan pada 11 Februari 2008 meskipun sempat terlambat sekitar 7 jam dari jadwal yang ditetapkan. Aset-aset yang disita antara lain adalah tanah yang beralamat di Jalan Soepomo No. 8 Tebet, Jakarta Selatan, tanah dan bangunan yang beralamat di Jalan Buncit Raya Kav. 38, Jakarta Selatan (keduanya berstatus Hak Guna Bangunan), dan satu unit mobil Toyota Avanza berwarna Silver.

Sebenarnya ada beberapa mobil lagi yang seharusnya disita selain Toyota Avanza tersebut, namun sayangnya, mobil-mobil tersebut sudah tidak ada. Menurut Restaria, mobil-mobil tersebut telah dijual oleh PT HIN. “Kita juga tidak mengetahui mengapa penjualan tersebut dilakukan sangat pas menjelang eksekusi akan dilakukan,” tuturnya. Mobil-mobil tersebut antara lain 3 unit Toyota Kijang Kapsul dan 1 unit Kia Visto.

Kemalsjah Siregar yang pernah menjadi kuasa PT HIN dalam perkara ini menolak berkomentar terkait eksekusi dan permohonan lelang tersebut. Kemalsjah mengatakan bahwa hingga saat ini PT HIN belum mengkonfirmasikan apapun terkait hal tersebut.


Sempat Tertahan di Panitera

Menurut Restaria, sebelum penetapan ini dikeluarkan oleh PN Pusat, permohonan atas penetapan tersebut sempat tertahan di bagian Panitera PN Pusat. Pihak mantan karyawan PT HIN memantau dan menanyakan terus-menerus berkas permohonan tersebut hingga melakukan audiensi dengan Ketua PN Pusat saat itu, Cicut Sutiarso. Namun baru pada saat Andriani Nurdin menjabat sebagai Ketua PN Pusat, ulah Panitera tersebut akhirnya terbongkar.

“Kita pernah memperkarakan hal tersebut ke ketua PN Pusat Andriani. Sejak saat itu beliau mulai bertindak,” tutur Restaria. Restaria berpendapat bahwa keberhasilan pihaknya mendapatkan penetapan eksekusi tersebut bukan karena inisiatif dari PN Pusat, melainkan karena tekanan dari pihaknya. Baru pada 18 Januari 2008 usaha tersebut membuahkan hasil berupa penetapan eksekusi.

Pihak PT HIN sebelum penetapan tersebut dikeluarkan sempat dipanggil oleh pihak PN Pusat, namun PT HIN mengabaikan panggilan tersebut. Dikeluarkannya penetapan eksekusi tersebut, menurut Restaria, selain karena tekanan dari pihaknya, juga dikarenakan tidak hadirnya PT HIN pada saat dipanggil oleh PN Pusat.

Ketika ditanyakan apakah dari aset PT HIN yang berupa tanah dan bangunan ada yang bermasalah, Restaria mengaku tidak mengetahuinya. “Sampai saat ini kita tidak tahu. Sebenarnya hal tersebut dapat diketahui jika PT HIN datang pada saat dipanggil dan menjelaskan apakah ada hak tanggungan atas aset tersebut,” terang Restaria.

Selain itu, Restaria menjelaskan bahwa pada saat eksekusi dilakukan, Direktur PT HIN tidak ada di tempat. “Mereka tidak bertemu dengan juru sita dan tidak melakukan perlawanan terhadap eksekusi tersebut, tetapi juga tidak mau menerima berita acara eksekusi,” tukasnya.

Terkait dengan eksekusi tersebut, Restaria menjelaskan bahwa pihaknya telah mendaftarkan aset-aset yang berupa tanah dan bangunan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional. (CRA)

Tidak ada komentar: