Senin, 25 Februari 2008

Peluangnya Fifty-fifty untuk Dinafikan "Putusan UU Sisdiknas"

[25/2/08]

Eksaminasi publik terhadap putusan MK yang memasukan gaji pendidik ke dalam anggaran pendidikan akan digelar. Hasilnya dipakai sebagai bahan acuan pemerintah dan DPR untuk menafikan putusan MK tersebut. Namun, peluangnya fifty-fifty

Kritikan dan cercaan publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pasal 49 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terus meluas. Setelah dikritik oleh tiga hakim konstitusi dalam dissenting opinionnya. Kali ini Koalisi Pendidikan akan melakukan eksaminasi publik terhadap putusan yang disebut Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar sebagai 'penyiasatan' konstitusional yang menyesatkan. Koalisi pendidikan terdiri dari aktivis guru, dosen, orang tua siswa serta peneliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Febridiansyah, salah satu anggota Koalisi Pendidikan, mengatakan, eksaminasi publik tersebut akan dilakukan pada Maret 2008. Tim eksaminasinya terdiri dari ahli Hukum Tata Negara (HTN), ahli pendidikan, serta ahli Hak Asasi Manusia (HAM). “Jumlahnya ada lima orang,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (25/2). Nama-nama seperti Zaenal Arifin Mukhtar (pakar HTN dari UGM), Winarno dan HAR Tilaar (Pakar Pendidikan), serta peneliti dari ELSAM sudah confirm untuk ikut serta.

Meski eksaminasi baru akan dilakukan pada Maret, Koalisi Pendidikan sudah memiliki penilaian awal terhadap putusan itu. Dalam siaran persnya, Koalisi Pendidikan menuding bahwa MK telah memutus melebihi kewenangannya. Febridiansyah menilai, dalam perkara ini, MK tak menguji UU dengan UUD 1945, tetapi menguji antar pasal dalam sebuah UU.

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstiusi Natabaya, Mahkamah mengatakan UU Sisdiknas, Pasal 1 angka 3, menentukan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berarti juga termasuk gaji pendidik. Ketetuan Pasal 49 ayat (1) yang memisahkan gaji guru dan anggaran pendidikan dinilai membuat tak konsistennya UU Sisdiknas.

“Yang kita ketahui kewenangan MK menguji UU dengan UUD'45, bukan memutus konsisten atau tidak konsistennya sebuah UU,” kritik Febry. Pendapat Febry tersebut sejalan dengan dissenting opinion Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Harjono. Menurut kedua Hakim Konstitusi tersebut sama sekali tak ada pertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, seperti yang didalilkan pemohon. “Tidak terdapat konstitusionalitas norma yang harus dipermasalahkan,” ucap Maruar Siahaan saat sidang pembacaan putusan.

Artinya, jelas Febry, MK sedang menguji salah satu bagian dari sebuah Undang-Undang dengan bagian lain dalam Undang-Undang itu sendiri. “Kalau pun terdapat pertentangan dan inkonsistensi dalam sebuah Undang-Undang, maka itu bukanlah kewenangan MK,” tambahnya.

Menafikan Putusan

Koalisi Pendidikan sepertinya tak main-main dengan eksaminasi putusan tersebut. Bila ternyata hasil eksaminasi sama dengan analisa awal Koalisi Pendidikan terkait putusan MK melebihi kewenangannya, maka pemerintah serta DPR diminta untuk menafikan putusan itu. “Hasil eksaminasi ini akan menjadi bahan pemerintah untuk mengesampingkan putusan MK itu,” kata Febry.

Febry pun tak asal omong. Upaya menafikan putusan MK sudah ada yurisprudensinya. Contohnya, adalah Putusan MK mengenai Penjelasan Pasal 2 UU No. UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kala itu, MK menghapus perbuatan hukum materil dari tindak pidana korupsi karena tak punya standar kepastian hukum.

Uniknya, tak semua hakim mengikuti putusan itu. Ada hakim yang tak lagi menggunakan perbuatan hukum materil dalam pertimbangan putusannya, tapi ada juga hakim yang tetap menggunakan. Jumlah hakim yang menerabas putusan MK tersebut tak sedikit. Hal ini diartikan Febry sebagai langkah institusi Mahkamah Agung (MA) yang mengesampingkan putusan MK. “Ini kan pernah terjadi,” ujarnya mengkaitkan usulannya kepada pemerintah dan DPR untuk mengesampingkan putusan MK tentang UU Sisdiknas.

Apakah pemerintah dan DPR akan mengikuti saran dari Koalisi Pendidikan dengan mengesampingkan putusan MK perlu ditunggu saat pembahasan APBN tahun depan? Pro kontra akan terus terjadi. Beberapa waktu lalu, Ketua Komisi X yang membidani masalah pendidikan Irwan Prayitno mengungkapkan, ada perbedaan pendapat anggota DPR dalam memasukan gaji pendidik dan pendidikan kedinasan ke dalam anggaran pendidikan.

“Bila pasal tersebut (Pasal 49 ayat (1), red) diubah maka semangat untuk meningkatkan pendidikan akan semakin berkurang,” jelas Irwan. Pandangan dari Departemen Pendidikan Nasional pun mirip. Pada kesempatan yang sama, Staf Menteri Pendidikan Teguh Juwarno berpendapat senada dengan anggota Fraksi PKS itu. Namun, pendapat keduanya dikutip jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Menarik disimak, apakah pendapat perwakilan pemerintah dan DPR itu tetap konsisten atau akan berubah seiring putusan MK ini.

Peluang Fifty-fifty

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN) Firmansyah Arifin membaca peluang dinafikannya putusan ini di DPR fifty-fifty. Ia mengatakan, di satu sisi, putusan ini memberikan kemudahan untuk DPR dan Pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, disisi lain, Firman meyakini masih ada anggota Komisi Pendidikan DPR yang peduli dengan nasib pendidikan.

Secara pribadi, Firman mengkui bisa memahami penolakan putusan ini dari Koalisi Pendidikan. “Penafian ini merupakan upaya untuk mengembalikan esensi sebenarnya anggaran pendidikan 20 persen dalam UUD'45,” ujarnya. Meski begitu, ada dilema tersendiri antara menafikan putusan untuk kemajuan pendidikan Indonesia dengan menghormati upaya hukum yang besifat final dan mengikat.

(Ali)

Tidak ada komentar: