Sabtu, 23 Februari 2008

"Kasus Lumpur Lapindo " Jeritan dari Timur itu Tak Terdengar

[19/2/08]
Sikap DPR soal lumpur Lapindo terpecah. Sebagian menginginkan interpelasi soal Lapindo terus berlanjut. Namun, Tim Pengawas Lapindo bentukan DPR mengaku tidak mudah menggelar interpelasi. Kini, nasib warga Sidoarjo tergantung sikap wakil rakyat.

Matanya memerah-kuning. Sisa jet-lag perjalanan pesawat Air Asia, Senin (18/2) masih tersisa. Namun, bukan itu alasan utama mata pria itu menjadi nanar. Melainkan kecamuk marah dan sedihlah penyebabnya.

Sarjono, si pria itu, dengan suara yang tercekat terbata-bata setengah terisak-tersengal namun berapi-api teriak. “Saya kecewa. Di gedung ini tak ada keputusan yang berarti,” tutur pemilik bengkel tambal ban sepeda asal Desa Penjarakan, Sidoarjo. Usahanya bangkrut lantaran sudah terselimuti lumpur Lapindo.

Pada Selasa (19/2) Sarjono dan kawan-kawan menyatroni Sidan Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka menyimak apakah forum kali ini membuahkan keputusan berarti soal laporan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) bentukan parlemen, September lalu. Sayang, sidang kali ini tak ada hasil yang mereka harapkan. “DPR hanya mengulur-ulur waktu,” sambung Sarjono.

Banyak anggota dewan yang menolak laporan tertulis itu -yang dibacakan oleh Wakil Ketua Tim Tjahjo Koemolo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hingga tiga bulan lamanya memantau, tim ini belum bisa menyimpulkan penyebab semburan lumpur. Apakah bencana alam, ataukah hanya fenomena alam umumnya.

Ayah tiga anak itu tak berani pulang kampung. Maklum, dia adalah salah satu “delegasi” yang terbang ke Jakarta. Sarjono dibebani target tinggi. Mereka harus berhasil mendesak “kalangan Jakarta” tangkas bergerak. Seusai melihat hasil yang ada, Sarjono hanya mengelus dada. “Saya tak berani pulang. Saya malu pada kawan-kawan di Sidoarjo. Bisa-bisa kami dimarahi,” akunya.

Kemarahan Sarjono ini siap menjalar ke Sidoarjo. Warga korban lumpur sudah memblokir jalan tol. Dan, itu bukan hal sulit bagi mereka. Warga sudah mengungsi di tenda tepi jalan tol pada kilometer 41. “Kalau tuntutan kami tak terpenuhi, target kami Jawa Timur lumpuh,” repet Sarjono. Tak hanya tol, akses kereta api pun siap mereka sabot.

Jalur Sidoarjo memang strategis. Lalu lintas dari dan ke Surabaya, Malang, Banyuwangi, Bali, hingga ke Indonesia Timur butuh lewat lajur ini. “Stabilitas ekonomi bisa parah,” seloroh anggota DPRD Sidoarjo asal Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Eko Suparno. Eko dan empat belas koleganya menjadi Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD setempat.

Penjarakan memang bukan desa yang dijamin dalam Peraturan Presiden 14/2007. Perpres tersebut hanya menyebut wilayah Perumtas Tanggulangin yang memperoleh ganti rugi dari pihak Lapindo. Dua puluh persen sudah cair. Dan sisanya, delapan puluh persen, baru dilunasi Mei mendatang. Namun, lantaran semburat lumpur yang makin meluas yang menjebol tangul, desa Sarjono ini ikut-ikutan terdampak. “Mulai Jumat Legi, 19 Desember lalu desa kami tergenang,” ujarnya mengenang.

Tak cuma Penjarakan. Masih ada Besuki dan Kedungcangkring -tiga desa itu terletak di Kecamatan Jabon. “Sempat setinggi perut. Kini sudah surut semata kaki. Namun musim hujan bisa bikin masalah,” tutur Adip, warga Besuki dengan suara lirih. Ada pula Desa Siring Barat dan Jatirejo serta Mindi yang berlokasi di Kecamatan Porong. “Warga Mindi kami ajak namun mereka tidak mau. Kawasan selatan memang tak terlalu parah,” tutur Nurhadi, tetangga Sarjono. Warga sejumlah desa tersebut sudah kesulitan mendapat air bersih.

Nurhadi cs meminta Perpres 14/2007 itu direvisi. “Desa kami yang menyusul jadi terdampak juga harus diperhatikan. Lumpur ini makin meluap -dengan tekanan sejuta barel sehari- dan tanggul jebol terakhir kali pada 10 Februari lalu,” repetnya.

Meski belum termasuk dalam wilayah yang dipasang patok, Nurhadi mengakui perhatian Lapindo masih ada, meski minim. “Hanya kiriman uang Rp500 ribu per rumah. Satu rumah bisa berisi beberapa keluarga. Dikirim cuma sekali, bukan sebulan. Di tenda pengungsian kami dijatah nasi bungkus tiga kali sehari.” Masih menurut Nurhadi, meski kiriman dari pihak perusahaan milik Bakrie, nasi bungkus itu diangkut oleh mobil Dinas Sosial Sidoarjo.

Penderitaan baru lahir, penderitaan lama belum terhapus. Sungkono terpaksa gulung tikar. Pabrik tas, sepatu dan rokok miliknya yang terletak di Kedungbendo, Tanggulangin ini tenggelam. “Dari total 297 orang karyawan, terpaksa saya rumahkan hampir 200 kepala,” ujar kolega satu partai Eko yang juga duduk dalam Pansus Lapindo DPRD Sidoarjo itu.

Penggerak UKM untuk kaum wanita Indah Jatmiko juga harus rela bangkrut. Usaha produksi sprei, bantal, dan bed cover ini harus terhenti. “Bukan hanya tutup, tapi buyar. Untung, saya bisa mengungsi ke rumah kerabat di Surabaya,” ujarnya dengan nada sengit, “Kalau perlu DPR dibubarkan saja karena membiarkan kejahatan korporasi ini,” timpalnya.

Sungkono maupun Indah hanya segelintir orang dari sejumlah korban. Pastinya, sekitar 30.000 korban lumpur ini punya kisah pilu masing-masing. Kini mereka hanya menunggu waktu, apakah Mei nanti 80 persen sisa ganti rugi benar-benar cair. Sedangkan kubu Sarjono cs masih menunggu nasib yang belum jelas -lantaran wilayah mereka belum termasuk yang mendapat ganti rugi.

Dewan Kecam Laporan

Musabab melecutnya kekecewaan warga Sidoarjo adalah sikap Tim Pengawas yang banci. “Tak ada jaminan semburan itu bisa dihentikan dalam waktu dekat. Sebagian besar ahli geologi berpendapat bahwa semburan ini merupakan fenomena alam, yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan manusia. DPR tidak bersikap dan punya kewenangan apalagi keahlian untuk berpendapat apakah peristiwa ini adalah fenomena alam atau bencana alam. Kami serahkan kepada para pakar,” tutur Tjahjo membacakan laporan dalam sidang. Forum kali ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, yang juga Ketua Tim Pengawas.

Kolega satu partai Tjahjo, Permadi, menilai laporan itu mengecewakan. “Bagai humas PT Lapindo saja,” ujarnya menginterupsi sidang. Menurut Permadi, Lapindo tetap harus bertanggung jawab. “Jika tidak ada yang mengebor, tak mungkin lumpur itu keluar.”

Lawmaker asal FPAN Dradjad Hari Wibowo juga menyayangkan Tjahjo yang empat kali menekankan pendapat ahli. “Artinya kita sudah mengarahkan opini bahwa peristiwa ini hanya fenomena alam. Padahal pendapat pakar bersifat ilmiah. Secara ilmiah juga bisa diperdebatkan.”

Dradjad mengingatkan, ada konsekuensi anggaran jika peristiwa ini ditetapkan sebagai gejala alam. “Lapindo bisa menagih balik nilai ganti rugi yang sudah mereka keluarkan. Dan itu berarti harus merogoh kocek negara.”

Dalam jumpa pers seusai sidang, wakil ketua lainnya, Priyo Budhi Santoso menggarisbawahi, “Fenomena alam berbeda dari bencana alam loh.” Priyo, yang dari Fraksi Partai Golkar itu menandaskan fokus tim adalah memastikan ganti rugi 80 persen tersalur dengan semestinya.

Legislator asal Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Abdullah Azwar Anas menandaskan, apapun status peristiwa ini, “Lapindo jangan sedikit pun dapat menggugurkan tanggung jawabnya. Selain itu, harus ada kepastian nasib desa-desa yang di luar jaminan Perpres 14/2007 itu.”

Suripto asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menilai laporan ini mengesampingkan aspek kemanusiaan. “Tidak tergambar dampak sosial-psikologi-politik-ekonomi.” Joko Susilo dari FPAN memandang laporan ini belum memasukkan aspirasi masyarakat lokal Sidoarjo. Constan Ponggawa dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) menengarai adanya kolusi nasional jika DPR sehati dengan pandangan pemerintah, Lapindo, beserta para ahli geologi.

Lanjutkan Interpelasi

Sebagian besar anggota, terutama dari FKB -yang sebagian besar konstituennya dari Jawa Timur- menghidupkan lagi wacana interpelasi. “Tim ini dibentuk untuk awasi kinerja BPLS dan Lapindo. Kalau rapor mereka mengecewakan, kita bisa lanjutkan interpelasi,” teriak Anna Muawanah yang diamini sejumlah kawannya dari FKB.

Joko Susilo dan Permadi juga mendukung dilanjutkannya interpelasi. Soetardjo, si pemimpin sidang mengetuk palu. Tok. Dewan memutuskan melanjutkan agenda ini ke interpelasi. Sayang, belum ada jadwal yang pasti.

Dalam jumpa pers seusai sidang, Priyo justru menyangkal otomatis ada lanjutan interpelasi. “Interpelasi itu tidak mudah. Kalau sedikit-sedikit interpelasi, presiden harus bolak-balik ke sini,” ujarnya. Menurut Priyo, Tim Pengawas akan terus bekerja, setidaknya hingga pelunasan 80% pada Mei nanti. Setelah itu, parlemen baru mempertimbangkan pentingnya interpelasi. “(Opsi, red) interpelasi masih on kok,” ujarnya berkilah.

Agustus silam, dalam sidang paripurna, DPR sepakat membentuk Tim Pengawas. Tim ini bekerja selama tiga bulan untuk memantau kinerja Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menangani korban lumpur. Kala itu desakan interpelasi mental dan digeser dengan agenda pembentukan tim tersebut -inilah peristiwa pertama terjadinya interpelasi bersyarat. Jika kinerja pemerintah dan pihak Lapindo mengecewakan, dewan dapat menggelar hak meminta keterangan itu. Kini, setelah banyak anggota yang tak puas atas laporan tim tersebut, mereka menagih interpelasi itu.

Masalahnya, berdampakkah interpelasi -yang butuh penjadwalan entah untuk kapan- bagi perbaikan nasib para korban lumpur itu? “Ah, interpelasi tiada beda dari dagang sapi,” komentar Sumitro, warga Perumtas Tanggulangin.
(Ycb)

Tidak ada komentar: