Senin, 25 Februari 2008

Atas Nama HAM, BPK-Depkeu Perdebatkan Kerahasiaan Data Pajak

[25/2/08]

Menteri Keuangan berpendapat, kerahasiaan data merupakan hak asasi wajib pajak. Sedangkan BPK berargumen publik punya hak asasi atas informasi posisi keuangan negara. Pertempuran dua lembaga itu makin seru di Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) menyisakan silang sengketa di antara dua lembaga. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara merasa tugasnya dihalangi pihak pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam mengaudit data pajak.

Uniknya, kedua kubu sama-sama mengusung argumen demi hak asasi manusia (HAM). “Menkeu memandang data wajib pajak adalah rahasia. Setiap wajib pajak punya hak asasi untuk dilindungi. Sedangkan kami menilai warga juga punya hak asasi untuk mengetahui pengelolaan keuangan negara,” tutur Kepala Auditoriat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Hendar Ristriawan.

Hendar mengantongi mandat Pasal 23 E UUD 1945. “Hak asasi manusia adalah kewajiban bagi negara. Dan BPK adalah lembaga negara yang berwenang memeriksa setiap sen uang negara yang dikelola oleh pemerintah. Dalam hal ini pendapatan pajak.” Hendar mengeluh, Menteri Keuangan masih pelit memberikan izin auditor BPK memeriksa data pajak. Beberapa waktu lalu BPK mengajukan uji materi atas UU KUP ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia Ahmadi Hadibroto menginginkan adanya jalan keluar dari silang sengketa ini. “Kewajiban merahasiakan data wajib pajak itu mutlak. Tapi ketentuan kerahasiaan itu harus jangan mengorbankan hak masyarakat untuk memperoleh informasi keuangan negara,” ujarnya. Kali ini Ahmadi, yang juga akuntan dari Kantor Akuntan Publik KPMG Hadibroto itu berpendapat sebagai pribadi.

Sebenarnya BPK dan DJP sempat merintis nota kesepahaman (MoU) untuk meredakan “permusuhan” ini. Sayang, dengan makin meruncingnya friksi, BPK menghentikan MoU tersebut. “MoU toh tak bisa membatalkan pasal sebuah undang-undang. Sebuah peraturan pemerintah pun tak boleh menyalahi UU-nya,” kilah Hendar.

Laporan Keuangan vs Kinerja

BPK mengenal tiga jenis audit. Pertama, audit laporan keuangan. Kedua, audit kinerja. Dan ketiga, audit dengan tujuan tertentu alias investigatif. Untuk masalah data pajak ini, BPK berencana menggelar dua jenis audit yang pertama.

Audit laporan keuangan berarti pemeriksaan neraca yang disusun oleh pemerintah. “Kita audit piutang pajaknya,” tutur Hendar. Dengan demikian, BPK hendak mengulik data-data seputar Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), keterangan kurang bayar, maupun keterangan lebih bayar.

Menurut Hendar, kegiatan audit ini bukanlah sensus yang harus mengobok-obok seluruh berkas yang ada. “Tak mungkin kami sanggup melakukannya. Kami hanya ambil sampel. Dan seberapa banyak data yang kami ambil, tergantung pada keandalan sistem informasi internal DJP.” Dengan demikian, sambung Hendar, ketakutan wajib pajak datanya digembol oleh auditor BPK tak beralasan.

Lagipula, BPK hanya memeriksa kecocokan data yang ada dalam SPT dengan pencatatan dalam neraca. “Kami tak mau terlalu jauh menelusuri, misalnya penggelapan pajak oleh salah satu wajib pajak. Itu bukan kewenangan kami,” sambung Hendar.

BPK menggelar audit kinerja (performance audit) untuk memeriksa kinerja pasukan petugas pajak. “Mayoritas, lebih dari 80 persen pendapatan negara berasal dari pajak. Aneh kalau pemerintah tidak terbuka,” ujar ahli hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia Arifin Soeriaatmadja.

Arifin menduga, ketentuan kerahasiaan dalam UU KUP ini disalahgunakan oleh para petugas pajak yang doyan kongkalikong dengan wajib pajak. “Sudah rahasia umum. UU ini dipakai untuk berlindung oleh para petugas pajak dan wajib pajak untuk melanggengkan praktek yang tidak benar,” Katanya.

Cuma, untuk audit kinerja ini, Ahmadi merasa kurang yakin pada kemampuan BPK. “Setidaknya bisa dibuat joint committee. Tak hanya dari BPK. Karena belum tentu BPK sendirian melakukan audit kinerja, hasilnya berkualitas. Audit yang satu ini harus hati-hati.” Arifin pun menyepakati pandangan Ahmadi ini.

Berkaitan dengan seberapa jauh kewenangan masing-masing lembaga, Hendar mempersilakan DJP membuat tata cara pengambilan data demi menjaga kerahasiaan. “Misalnya, pertama, auditor BPK hanya memeriksa data di ruang tertutup. Kedua, data yang diperiksa tak boleh dibawa keluar ruang. Setelah memeriksa, auditor kami mengembalikannya ke DJP,” Tuturnya.

Menurut Hendar, kekhawatiran wajib pajak datanya disalahgunakan oleh BPK adalah omong kosong. Auditor harus memegang kode etik yang ketat. “Setiap auditor dan bahkan anggota BPK yang menyalahgunakan wewenangnya bisa dikenai sanksi pidana satu hingga tiga tahun dan denda Rp1-3 miliar,” Tegasnya.

Sidang Judicial Review

Hendar mengungkapkan, Rabu (27/2) merupakan sidang lanjutan uji materi UU KUP. Kali ini para hakim konstitusi mendengarkan kesaksian para saksi ahli dari dua kubu. “Para hakim menyarankan dua pihak jangan banyak-banyak mengusung saksi. Besok (26/2) intern BPK rapat dan memutuskan siapa saja yang kompeten menjadi saksi ahli,” jabar Hendar.

Arifin berpendapat Pasal 74 UU KUP memang harus diubah. BPK, berdasarkan Pasal 23 E UUD 1945, memang punya kewenangan untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. “BPK adalah lembaga tinggi negara. Negara bisa jadi subyek hukum. Dan pemerintah bukan subjek hukum. Makanya pemerintah harusnya terbuka pada akses pemeriksaan.” Arifin mengusulkan rumusan yang lebih detil data mana saja yang dirahasiakan serta mana saja yang boleh dijamah BPK.

Meski memiliki beberapa pandangan soal masalah ini, Ahmadi cenderung enggan menjadi saksi ahli. “Jangan tanya saya seputar perihal hukumnya. Terserah BPK nanti,” ujarnya ketika dikonfirmasi soal kesediaannya menjadi saksi ahli. Lagipula, sambung Ahmadi, dia berperan sebagai individu, bukan mewakili suara IAI. “Kami secara organisasional belum pernah membuat pernyataan resmi tentang hal ini,” pungkasnya.(Ycb)

Tidak ada komentar: