Minggu, 24 Februari 2008

Yurisdiksi Peradilan Militer Sebaiknya Berdasarkan Personalitas

[22/2/08]

Penerapan yurisdiksi berdasarkan tindak pidana akan sulit karena apabila terdakwanya dari kalangan sipil tidak mengenal sistem kepangkatan.

Setahun berlalu, ternyata permasalahan yurisdiksi masih menjadi sentral pembahasan RUU Peradilan Militer di DPR. Jika sebelumnya yang diperbincangkan apakah kalangan militer bisa diadili di peradilan umum, kini pendulumnya berbalik arah. Tersiar kabar, Panitia Kerja (Panja) DPR yang merumuskan RUU ini akan memperluas yurisdiksi peradilan militer tidak hanya untuk kalangan militer, tetapi juga warga sipil yang diduga melakukan tindak pidana militer.

“Dalam RUU Peradilan Militer tidak lagi diatur masalah subyeknya tetapi lebih pada masalah tindak pidananya,” ujar Ketua Panja Azlaini Agus, mengemukakan alasan.

Sebagaimana diketahui, pembahasan RUU Peradilan Militer pada awalnya ditangani Panitia Khusus (Pansus) yang diketuai oleh Andreas Pareira. Pada perkembangannya, ada sejumlah pasal yang pembahasan cukup alot seperti persoalan peradilan koneksitas, sehingga diteruskan ke Panja.

Warga sipil diseret ke peradilan militer sebenarnya bukan hal baru. UU No. 31 Tahun 1997 telah memuat ketentuan mengenai hal ini. Pasal 9 ayat (1) menyatakan warga sipil dimungkinkan untuk diadili dalam peradilan militer jika ada keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman –sekarang Menteri Hukum dan HAM. Seiring dengan penyatuan atap kekuasaan kehakiman, kewenangan Menteri beralih ke Mahkamah Agung.

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) itu dipandang Panja sebagai prosedur yang terlalu rumit dan birokratis. Oleh karenanya, Panja berniat menyederhanakannya dengan memangkas prosedur persetujuan Panglima dan Menteri. Sebelumnya, Panja bahkan menghilangkan ketentuan tentang peradilan koneksitas. “Sejak awal RUU Peradilan militer ini kita khususkan untuk memeriksa dan memutus perkara tindak pidana militer, siapa pun yang melakukan,” tukas Anggota DPR dari F-PAN ini.

Andreas Pareira mengatakan beberapa perubahan signifikan yang diusung dalam RUU Peradilan Militer membawa konsekuensi harus direvisinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Maka dari itu, Pansus menetapkan waktu dua tahun setelah RUU Peradilan Militer resmi diundangkan, untuk merevisi KUHPM. Berdasarkan penulusuran hukumonline, upaya revisi KUHPM telah dimulai oleh Departemen Pertahanan bersama-sama dengan Badan Pembinaaan Hukum TNI sejak awal 2006 silam.

Sementara itu, Yusron Ihza Mahendra menegaskan perlunya batasan yang tegas jika yurisdiksi peradilan militer diperluas. Anggota Komisi I yang membawahi bidang pertahanan ini khawatir perluasan yurisdiksi ditafsirkan secara luas sehingga menimbulkan masalah. Misalnya, mahasiswa yang melakukan demonstrasi diadili di peradilan militer. “Harus diinventarisir kemungkinan-kemungkinan itu dan dicantumkan secara tegas, kalau tidak itu berbahaya,” tukasnya.

Personalitas

Ahli Hukum Pidana Chairul Huda menyatakan tidak sependapat apabila RUU Peradilan Militer menerapkan yurisdiksi berdasarkan tindak pidana, Menurut Chairul, ada perbedaan paradigma antara peradilan umum dan peradilan militer yang akan menyulitkan konsep yang ditawarkan RUU. Prosedur di peradilan militer mengenal sistem kepangkatan dalam menentukan tingkat pengadilan dan majelis yang menangani perkara.

Sebagai contoh, Chairul menunjuk Pasal 16 ayat (5) UU Peradilan Militer yang berbunyi Dalam hal Terdakwanya berpangkat Kolonel, Hakim Anggota, dan Oditur paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa dan dalam hal Terdakwanya perwira tinggi Hakim Ketua, Hakim Anggota dan Oditur paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa”. Artinya, lanjut Chairul, terkesan ada hubungan hirarkis antara peradilan militer dengan terdakwa dari kalangan militer. Oleh karenanya, dia berpendapat yurisdiksi peradilan militer semestinya didasarkan pada personalitas.

“Bagaimana kalau terdakwanya sipil, akan ada kesulitan karena tidak ada kepangkatan,” tambahnya. Chairul menganalogikan dengan sistem peradilan agama, dimana untuk dengan mendasarkan pada personalitas maka orang beragama Islam berperkara di pengadilan agama dan sebaliknya untuk non-Islam di pengadilan umum.

Khusus untuk perkara yang mengandung unsur penyertaan, Chairul berpendapat penanganan perkara dilakukan secara terpisah (split). Untuk terdakwa sipil di pengadilan umum dan terdakwa militer di pengadilan militer. Chairul mengakui cara ini berpotensi memunculkan disparitas putusan antara kedua pengadilan. Untuk mengatasi hal ini, sejalan dengan penyatuan atap kekuasaan kehakiman maka kuncinya terletak di Mahkamah Agung. “Harus ada standar yang sama,” pungkasnya.

Bhatara Ibnu Reza dari Imparsial berpendapat gagasan perluasan yurisdiksi peradilan militer sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peradilan koneksitas yang selama ini diterapkan. Bhatara melihat selama ini acara pemeriksaan koneksitas cenderung pro militer ketimbang peradilan umum.Ketidakjelasan mengenai perluasan yuridiksi peradilan militer yang mempersepsikan semua warga sipil sebagai prajurit berarti menafikkan hak-hak sipil dan politik warga negara,” ujarnya.

(CRY/Rzk)

Tidak ada komentar: