Minggu, 24 Februari 2008

Irawady Joenoes Tidak Bisa Jadi Agen Provokasi

[23/2/08]

Karena bukan penyidik, Irawady tidak bisa berlakon sebagai agen provokator. Pembersihan internal KY seharusnya tidak dilakukan sendirian, melainkan dengan berkoordinasi dengan Ketua dan anggota KY lainnya.

Alih-alih ingin membersihkan internal Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, Komisioner KY nonaktif, justru dituntut hukuman penjara karena menjadi agen provokator. Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Irawady enam tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsidair enam bulan kurungan. Tuntutan ini dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jumat (22/2).

Jaksa Rudi Margono dan KMS Roni berpendapat, Irawady tidak berwenang melakukan agen provokasi. Alibi Irawady yang menjebak Freddy untuk membongkar kebobrokan di internal KY lewat aksi penjebakan terhadap Freddy Santoso, pemilik tanah yang dibeli KY, ditepis oleh jaksa.

Upaya pengungkapan kasus dengan cara agen provokasi dengan penjebakan hanya bisa dilakukan oleh penyidik. Itu bisa dilakukan jika penyidik mengalami kesulitan dalam mengungkap kasus. Mengutip pendapat SR Sianturi, jaksa menyatakan, dalam praktek, penyidik biasanya menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana yang mirip dengan kejahatan yang akan diungkap.

Bahkan, si penyidik bisa memasuki suatu organisasi kejahatan yang sedang diselidiki. Dilihat dari unsur penyertaan, si penyidik sebenarnya bisa terseret sebagai pelaku peserta. Namun, dalam kerangka penyidikan, si penyidik bisa lepas dari jerat hukum. Azas opportunitas bisa menjadi alat pembebasan si penyidik.

Sementara itu, selaku anggota KY, Irawady tidak bertugas melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi, terlebih lagi melakukan penangkapan. Apalagi, aksi itu dilakukan sendirian tanpa surat penugasan dari Ketua KY Busyro Muqaddas. Sekalipun ada surat tugas No.37/GAS/P.KY/IX/2007 yang ditelurkan Busyro pada 12 September 2007, nota itu tidak memerintahkan Irawady untuk melakukan penjebakan. Jauh sebelum lahirnya surat itu, Irawady telah melakukan aksinya pada Juli 2007.

Menurut jaksa, jika benar Irawady melakukan penjebakan, seharusnya Irawady berkoordinasi dengan Ketua dan anggota KY lainnya. Begitupula saat KPK menangkap Freddy dan Irawady di di Jalan Panglima Polim III No. 138 Jakarta Selatan, Irawady seharusnya segera menyerahkan barang bukti berupa uang AS $ 30.000 dan Rp600 juta. Bukannya menyembunyikan uang dolar itu dikantong belakang celana Irawady dan mengatakan uang itu uang milik Irawady. Irawady juga menyembunyikan uang Rp600 juta itu di dekat kamar mandi rumah miliki Jenderal (Purn) Soemitro itu.

Jaksa berpendapat, Irawady terbukti berniat dengan sengaja untuk mendapatkan hadiah dari Freddy berupa uang. Ini sebagai konsekuensi dari persetujuan untuk membeli tanah Freddy yang semula ditolak karena tidak aman dan tidak berada di ring satu.

Niat itu terbukti dari upaya Irawady yang sengaja mengadakan hubungan dan pertemuan dengan Freddy di Hotel Mahakam Jakarta pada 25 Agustus 2007. “Setelah pertemuan itu, Irawady mengubah pendapatnya sehingga menyetujui tanah yang ditawarkan oleh Freddy,” jelas KMS Roni. Persetujuan itu disampaikan dalam rapat pleno KY 28 Agustus 2007 lewat secarik nota dinas.

Usai pelunasan pembayaran tanah Freddy, Irawady menentukan tempat pertemuan untuk penyerahan uang. Ia juga berpesan agar uangnya dalam bentuk dolar atau bilyet giro agar mudah dibawa. Jaksa menilai inisiatif Irawady menentukan tempat semakin menguatkan indikasi niat Irawady untuk menerima uang. “Pertemuan antara Freddy dan Irawady dikehendaki dan disadari oleh terdakwa,” tegas Roni.

Penerimaan hadiah itu, lanjut Roni, merupakan perbuatan yang sempurna atau telah selesai. Sebab secara materiil hadiah berupa uang itu telah berpindah atau beralih penguasaannya. Irawady dapat berbuat apapun terhadap uang itu secara bebas.

Padahal, selaku orang yang berhak menentukan lokasi tanah, Irawady dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Hal itu tertuang Nota Dinas Ketua KY No. 05/ND/P.KY/VIII/2007. Ini senada dengan Peraturan KY No.5/2005 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Anggota KY yang menyatakan anggota KY dilarang menerima imbalan baik secara langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan kewajibannya.

Selain itu, selaku penyelenggara negara, dalam Pasal 5 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, Irawady wajib untuk tidak melakukan KKN dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Masrurdin Chaniago itu, Roni menyatakan bahwa perbuatan Irawady telah berbenturan dengan Pasal 12 huruf b UU Korupsi No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer.

Karena itu jaksa mengajukan tuntutan hukuman enam tahun penjara itu. Ada tiga hal yang menjadi dasar pemberat tuntutan itu, yaitu Irawady selaku penyelenggara negara seharusnya ikut memberantas KKN dan menjadi panutan masyarakat. Perbuatan Irawady juga dinilai telah mencemarkan nama baik KY. Apalagi perbuatan itu dilakukan saat negara sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi.

Freddy sendiri telah divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsidair enam bulan kurungan. Tidak ada dissenting opinion (perbedaan pendapat) dalam vonis. Majelis hakim yang terdiri dari Edward Patinasarani, Masrurdin Chaniago, Dudu Duswara, Andi Bachtiar dan I Made Hendra menjatuhkan vonis dengan suara bulat.

Usai pembacaan tuntutan, Irawady menyatakan akan mengajukan pledoi secara pribadi. Penasihat hukum Irawady, Firman Wijaya menyatakan tuntutan jaksa lebih berbau politis, bukan pembuktian menurut teori hukum. “Irawady hanya menjadi korban,” tegas Firman. Pasalnya, dugaan ketidakberesan dalam kesekjenan KY telah terbukti dengan dipecatnya beberapa pegawai KY. “Seharusnya jaksa melihat itikad baik Pak Irawady,” tandasnya.

(Mon)

Tidak ada komentar: