Jumat, 22 Februari 2008

PKB Tidak Boleh Cantumkan Kejahatan Berat sebagai Alasan PHK

[22/2/08]

Perjanjian Kerja Bersama tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat jika mencantumkan klausula kejahatan berat sebagai alasan PHK seketika.

Sabar Siregar tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya usai majelis hakim mengetuk palu putusan dalam kasus perselisihan PHK yang menimpa dirinya. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pada Kamis (21/2), majelis hakim memutuskan menolak gugatan PHK yang diajukan Huntsman Indonesia (Huntsman).

Seperti diwartakan sebelumnya, Huntsman mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja terhadap Sabar. Pasalnya, Sabar saat itu dianggap menyalahgunakan fasilitas kantor seperti kartu kredit dan telepon seluler untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan kerugian keuangan perusahaan.

Sementara itu Huntsman merujuk pada ketentuan Pasal 64 ayat (3) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang mengatakan, “Pemberhentian seketika dapat dijatuhan kepada pekerja yang mencuri, memalsukan dokumen, menipu, penggelapan atau kejahatan lainnya”.

Selain itu, Sabar juga dituduh melanggar Pedoman Perilaku Bisnis Huntsman yang pada intinya menyebutkan penggunaan aset, fasilitas atau layanan untuk tujuan yang terlarang, tidak pada tempatnya atau tanpa wewenang adalah dilarang. Pelanggaran atas hal itu berakibat pada penerapan tindakan disipliner atau PHK atau tuntutan pidana maupun perdata.

“Pokok perselisihan ini adalah penggugat (Huntsman, red) menilai tergugat (Sabar, red) melanggar Pasal 64 ayat (3) PKB jo. Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegas Ketua Majelis Hakim Heru Pramono di awal pembacaan putusan.

Pada pertimbangan hukumnya, Heru menandaskan gugatan Huntsman memiliki kelemahan mendasar dengan masih dicantumkannya Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang sudah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. “Karena sudah dibatalkan MK, Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara hukum,” tambah hakim. Di mata MK, Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law.

Namun, berdasarkan catatan hukumonline, Huntsman sama sekali tidak mengungkit keberadaan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum gugatannya. Meski begitu, hakim tidak kehilangan argumentasi. Lebih jauh hakim menyatakan, materi muatan Pasal 64 ayat (3) PKB secara tekstual dan substansial memiliki kesamaan dengan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Dengan kata lain, hakim berpendapat bahwa Pasal 64 ayat (3) PKB itu seharusnya juga tidak mengikat secara hukum.

Butuh Putusan Pidana

Lebih jauh hakim juga menyebut keberadaan Surat Edaran Menakertrans bernomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 sebagai respon atas putusan MK. Pada poin 3 huruf a Surat Edaran Menteri itu disebutkan bahwa PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1)) baru dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam konteks perkara ini, masih menurut hakim, Sabar tidak pernah menerima sanksi hukum melalui putusan pidana atas tuduhan penyelewengan fasilitas kantor itu. “Majelis hakim juga tidak menemukan fakta hukum yang menyatakan bahwa penggugat pernah memberikan teguran atau peringatan kepada tergugat,” ungkap hakim.

Ketiadaan putusan pengadilan pidana yang menyatakan Sabar bersalah melakukan penyalahgunaan fasilitas kantor ini yang menguatkan keyakinan majelis hakim untuk menolak gugatan Huntsman. “Karenanya, gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar hukum yang kuat,” tegas hakim.

Sebelumnya kepada hukumonline, Kemalsjah Siregar, kuasa hukum Huntsman menjelaskan bahwa perusahaan memang tidak berniat membuat laporan pidana dalam kasus Sabar ini. “Kita memang tidak bilang Sabar itu sudah melakukan penggelapan atau pencurian. Kita menganggap bahwa tindakan itu adalah pelanggaran karena merugikan keuangan perusahaan.”

Gugatan PMH

Meski mengaku cukup puas dengan putusan hakim PHI, kekecewaan Sabar Siregar terhadap Huntsman tidak mereda. Buktinya di hari yang sama, Kamis (21/2), Sabar melalui kuasa hukumnya, Johnson Siregar giliran mendaftarkan gugatan terhadap Huntsman di PHI Jakarta.

Uniknya, gugatan yang bernomor register 44/G/PHI.PN.JKT.PST ini bertajuk gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang kerap kita jumpai dalam peradilan perdata umum. Sementara seperti kita ketahui, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sudah menegaskan kompetensinya untuk mengadili perkara perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja.

Johnson punya alasan sendiri mengapa gugatan PMH dilayangkannya ke PHI. Seperti diberitakan sebelumnya, sebelum berseteru di PHI, Sabar dan Huntsman sempat bersitegang di PN Jakarta Timur. Saat itu, Sabar yang menggugat Huntsman dengan dasar PMH. Sabar menuntut agar tindakan skorsing dalam rangka PHK yang dilakukan Huntsman dikualifisir sebagai PMH yang merugikan hak Sabar. Namun, PN Jakarta Timur dalam putusan selanya menyatakan tidak berwenang untuk mengadili perkara ini karena alasan kompetensi absolut. Majelis hakim PN Jakarta Timur beranggapan bahwa PHI yang lebih tepat mengadili.

Pertimbangan hakim yang terakhir disebut itu yang kemudian memotivasi Sabar untuk 'memindahkan' gugatannya dari PN Jakarta Timur ke PHI. Apa yang dituntut Sabar dalam gugatannya ternyata tidak jauh berbeda dengan materi gugatan pada saat di PN Jakarta Timur, yaitu ganti rugi yang totalnya mencapai Rp1,04 triliun. Selain itu, Sabar menuntut pemulihan nama baiknya di lingkungan internal perusahaan dan relasi bisnis.

“Kami hanya mengikuti saran PN Jakarta Timur untuk kembali menggugat di PHI. Nah, adanya putusan (hakim PHI, red) ini seharusnya bisa menjadi dasar bagi hakim untuk mengadili perkara PMH yang baru kami daftarkan ini dengan seadil-adilnya,” pungkas Johnson.

(IHW)

Tidak ada komentar: