Sabtu, 23 Februari 2008

Konflik BPK dan Menkeu Bisa Berbuntut Pidana

[19/2/08]

Ketua BPK mengatakan, setiap orang yang menghalangi pemeriksaan keuangan bisa dipidana. Sedangkan Menkeu berpendapat, membocorkan rahasia wajib pajak juga merupakan tindak pidana. Sebuah dilema yang harus diselesaikan oleh MK.

Sidang uji materi UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) memasuki agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah pada sidang sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pelit berkomentar. Kali ini wanita berparas cantik itu blak-blakan terkait langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di bawah pimpinan Anwar Nasution yang mempersoalkan kewenangan Menkeu yang memberi izin pemeriksaan pajak.


Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP memang memicu permasalahan ini. Pasal tersebut menyebutkan bila BPK ingin mengaudit pajak maka harus mendapat restu dari Menkeu melalui sebuah penetapan. Prakteknya, jelas Anwar, izin tersebut sukar sekali didapat. Menkeu seringkali beralasan bahwa pengaturan izin tersebut untuk menjaga kerahasiaan wajib pajak.


Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, menguraikan tiga prinsip pokok terkait kerahasiaan wajib pajak. Pertama, keterangan wajib pajak adalah rahasia yang wajib disimpan oleh pejabat dan tenaga ahli perpajakan. Kedua, pejabat yang tidak melakukan kewajiban merahasiakan akan dihukum kurungan atau penjara, dan pidana denda.

“Artinya, memberitahukan rahasia wajib pajak kepada pihak lain pada hakikatnya adalah salah, itu tindak pidana,” jelas Ani di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/2). Dirjen Pajak Darmin Nasution menambahkan, kerahasiaan wajib pajak memang lazim ditemukan di negara lain karena merupakan bentuk jaminan perlindungan. “Itu bagian dari HAM,” tandasnya.

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah pengecualian bahwa rahasia wajib pajak itu bisa dibuka. Syaratnya pun tak sembarangan, yaitu bila ada kepentingan negara atau kepentingan proses pengadilan. “Untuk keperluan ini, diberikan pengecualian atas izin Menteri Keuangan, sehingga pejabat tertentu yang memperoleh izin, bisa memberitahukan keterangan wajib pajak tanpa terkena sanksi pidana yang berlaku,” jelas Ani lagi.

Ani pun mengkaitkan prinsip ini dengan Pasal 51 KUHP ayat (1) yang sering disebut sebagai 'dasar penghapusan pidana' atau alasan pembenar. Ketentuan itu menyatakan, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Ada dua syarat yang mesti dipenuhi, yaitu harus ada perintah jabatan dan harus tertentu siapa penguasa atau pejabat yang berwenang,” jelasnya. “Keduanya, harus ada sekaligus,” tambahnya.

Sementara itu, kuasa hukum BPK, Bambang Widjojanto mengatakan, argumentasi yang dibangun Ani tidak menyentuh ke substansi permohonan. Menurut Bambang keterangan Ani ini hanya merespon kata pengantar Anwar sebelumnya. “Ini kan perdebatan hukum pidana. Dipermohonan kita tak ada,” ujarnya. Anwar, sebelumnya, memang sempat melontarkan akan menggunakan ketentuan pidana dalam UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berdasarkan ketentuan ini, Anwar menilai Ditjen Pajak bisa saja dilaporkan kepada penegak hukum bila instansi yang dipimpin oleh Darmin Nasution terus menolak jika akan diperiksa BPK.

UU No. 15 Tahun 2004

Pasal 24

(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(2) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau mengagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(3) Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(4) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Bambang juga menyayangkan adanya usaha membenturkan permohoonan BPK ini dengan wajib pajak. “Seluruh argumen yang dibangun Bu Ani itu dikaitkan dengan hak wajib pajak, seperti kerahasiaan,” ujarnya. Padahal, BPK tak memeriksa wajib pajak. “BPK kan hanya memeriksa fiskus (petugas pajak, red),” tegasnya.

Penyelesaian secara 'Adat'


Semakin memanasnya perseteruan Menkeu dan Ditjen Pajak dengan BPK, membuat anggota Komisi III DPR Patrialis Akbar mencoba menenangkan. Ia menyarankan agar BPK dengan presiden berserta pembantunya, Menkeu dan Dirjen Pajak agar duduk bersama menyelesaikan persoalan. “Ini kan seakan-akan ada konflik yang luar biasa. Padahal tak seperti itu,” ujarnya.


Persoalan ini sempat mereda ketika Pemerintah dan BPK akan membuat Memorandum of Understanding (MoU). Sayangnya, rencana tersebut gagal karena adanya uji materi di MK ini. Bambang beralasan bahwa MoU tak memberi ruang yang cukup leluasa untuk pengaturan yang mendasar. Lagi pula, kesepakatan MoU tersebut sifatnya tak kekal. “Kalau ganti bosnya, kesepakatan bisa berubah,” ujarnya.


Meski demikian, si tuan rumah, Ketua MK Jimly Asshiddiqie pun membuka peluang permasalahan ini diselesaikan secara adat. “Di MK, kalau di tengah jalan pemohon berubah pikiran, permohonan bisa ditarik,” ujarnya. Bahkan, sebelum putusan sekalipun, permohonan bisa ditarik. “Tapi, biasanya semakin sering ikut sidang, pemohon semakin yakin dengan perkaranya,” pungkasnya.


(Ali)

Tidak ada komentar: