Minggu, 24 Februari 2008

Masih Tetap Pengadilan “Ayam-Telor”

[23/2/08]

Putusan MK tak berdampak apapun terhadap kesimpangsiuran Pengadilan HAM Ad Hoc selama ini. Meski demikian, masih dibutuhkan revisi untuk memperjelas alur perkara.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM sudah mencabut kewenangan DPR untuk turut campur melakukan penyelidikan dan penyidikan. Lembaga wakil rakyat itu tidak bisa lagi menentukan locus dan tempus delicti dalam perkara pelanggaran HAM. Bahkan, DPR juga tidak bisa ikut menduga-duga seperti yang sebelumnya diperbolehkan di dalam UU Pengadilan HAM. Melalui putusannya, MK sudah menyetip kata ‘dugaan’ dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM.

Dalam putusannya, MK berpendapat bahwa keterlibatan institusi politik malah diperlukan sebagai representasi keinginan rakyat. Rekomendasi dari lembaga perwakilan kepada Presiden dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc justru merupakan bukti adanya keinginan publik untuk mengadili sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ini berarti para wakil di Senayan masih memegang bola panas dalam pemrosesan perkara HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Setidaknya, YLBHI menilai putusan MK itu sebagai batasan bagi DPR untuk tak lagi ikut menentukan ada-tidaknya pelanggaran HAM. Dengan demikian, DPR harus memberikan keputusan politik berupa rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc dari hasil kerja Komnas HAM dan Kejaksaan. Artinya, DPR tidak boleh terburu-buru mengkandaskan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc.

“DPR tidak bisa sewenang-wenang menolak rekomendasi pembentukan pengadilan HAM Ad hoc tanpa melalui proses di Komnas HAM dan Kejagung,” kata Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen.

Dengan alur seperti ini diharapkan tidak ada yang main serobot. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dipersilahkan bekerja lebih dulu, setelah itu DPR baru mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. “Fungsi DPR saat ini hanya menjadi stempel,” kata Mahendradatta, salah satu kuasa hukum Guiterres.

Meski keburu disambut gembira oleh sejumlah kalangan, putusan itu ternyata tidak merambah pada perdebatan ‘ayam-telur’ dalam proses pembentukan Pengadilan HAM. Seperti diketahui, selama ini terjadi tarik ulur dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. DPR selalu merasa tidak ada bukti cukup untuk membuat rekomendasi lantaran belum ada hasil penyidikan. Sedangkan kejaksaan tak pernah mau memulai penyidikan sebelum Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk.

Patrialis Akbar, anggota Komisi III DPR, menganggap pendapat semacam Patra dan Mahendradatta tidaklah tepat. Putusan MK, ujar dia, tidak mengubah apapun dalam alur proses pengadilan HAM Ad Hoc. Setali tiga uang dengan pendapat MK, menurut Patrialis rekomendasi dari DPR tetap diperlukan. “Kejaksaan Agung tidak bisa bekerja kalau pengadilannya belum ada,” ungkap politikus PAN ini.

Anggota DPR tampaknya seakan melempar batu pada Kejaksaan. “Bagaimana DPR bisa bekerja (merekomendasikan pengadilan ad hoc HAM) kalau tidak tahu hasil penyidikannya. Kalau hanya penyelidikan Komnas HAM tidak punya otentifikasi dari sebuah pemeriksaan,” ujar Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR lainnya. Ia berpendapat, Jaksa Agung justru mesti tegas untuk segera melakukan penyidikan sebagai dasar DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Boleh jadi terganjalnya sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat selama ini di Senayan disebabkan rendahnya pengakuan DPR terhadap temuan Komnas HAM seperti diungkapkan Gayus. DPR tidak yakin dengan temuan Komnas sebelum ada penyidikan dari Kejaksaan. Padahal, mengutip keterangan dari M Sholehuddin, salah satu ahli dalam sidang pengujian UU Pengadilan HAM, Komnas HAM secara tegas sudah ditunjuk UU Pengadilan HAM sebagai institusi yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM.

Pihak Kejaksaan pun mengamini pendapat anggota DPR itu. “Gimana melakukan penyidikan kalau pengadilannya nggak ada?” cetus Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman di Kompleks Gedung Kejaksaan Agung, Jumat (22/2). Dalam pandangan Kejaksaan, tindakan penyidikan dan penuntutan merupakan bagian dari prosedur berperkara yang dalam beberapa hal membutuhkan ijin dari Pengadilan.

Dalam penyidikan, lanjutnya, Kejaksaan mesti melakukan penyitaan dan penggeledahan. Penyidik juga harus melakukan penahanan terhadap tersangka pelanggar HAM berat. Dan, jika diperlukan, penyidik juga bisa mengajukan perpanjangan penahanan. Ketiga tindakan itu, ujar Kemas, “Harus atas ijin pengadilan. Mau minta perpanjangan penahanan juga atas ijin pengadilan. Kalau pengadilannya nggak mau, lantas minta sama siapa?”.

Inilah persoalannya. Terjadi saling lempar. Sebagai contoh, setahun lalu, pada 13 Maret 2007, Badan Musyawarah DPR menyatakan tidak melanjutkan penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi (TSS).

Beberapa waktu lalu, Usman Hamid –Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)– menyarankan agar Kejaksaan langsung melanjutkan penyidikan begitu ditemukan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. “Tak perlu menunggu pembentukan pengadilan,” cetusnya. Untuk pembentukan pengadilan, bisa dilakukan setelah semua bukti terkumpul, tersangka sudah ditetapkan, dan hanya tinggal melakukan penuntutan saja.

Harus Direvisi

Menurut Patrialis, penyelesaian persoalan ini tidak semudah pendapat Usman. Satu-satunya jalan keluar untuk membereskan masalah ini adalah merevisi UU Pengadilan HAM. Tujuannya agar terdapat mekanisme yang runtut sehingga masing-masing lembaga tidak saling serobot atau sebaliknya, saling lempar tanggung jawab.

Meski alur pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc belum terumuskan secara gamblang, para penggiat HAM tetap mengapresiasi putusan MK ini. “Celah bagi DPR maupun Kejaksaan Agung untuk tidak mengusut pelanggaran HAM semakin sempit,” kata Patra.

Menurutnya, hasil judicial review ini bakal memuluskan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tiga di antaranya yang terbesar adalah kerusuhan Mei 1998, kasus Semanggi I dan II, serta penculikan sejumlah aktivis di awal masa reformasi.

(NNC/Her)

Tidak ada komentar: